Jumat, 30 Agustus 2013

LANTARAN TIADA KAMU

Maka jangan biarkan gelap menguasai,
Sebab aku serasa mati…

Di ujung malam bersisian gundah
gerimis mulai meluruh jatuh

Aku masih saja menggumuli pekat
Dalam buaian desir lewat terpa sang angin
Kesunyian pun kian menampar hati.

Rintiknya menghantar irama sendu dikedalaman khayal.
Atau tengah menekuri cakrawala
dulu biasa kita lakukan berdua

Meradang aku lantaran tiadamu
Pekik hati seperti tak lagi miliki makna.

Maka jangan biarkan aku sendiri,
Sebab aku terbiasa denganmu.

Maka jangan biarkan gelap menguasai,
Sebab aku serasa mati…
#gerhanapelangi

MASIH ADA KAMBOJA

memang saat ini 
tak ada bulan
apalagi gerhana
 

tapi wangi kamboja
meruak diselipan malam
karena rasa menampar rindu
pada biduk yang kian lusuh
 

bulang tak lagi gerhana
tapi masih ada kamboja
 

kamboja masih ada
kamboja masih ada
kamboja masih ada
wanginya

TERTUNDUK MALANG

Tertunduk menghadap bulan
Dalam matanya terisi sepi Batin
secuilpun

merintih bergelut senda
Tak berurai kata
terjaga Setia

Dan masih disitu
Sebelum malam jdi layu

terang dan hilang
dalam syair penggembala malang

LELAKI DALAM BALUTAN MALAM


-------------------------------------
lelaki dalam balutan malam
diam menikam
dadanya terhunus parang malam
menggigil sepi

menghadang muka pencuri
membunuh dalam sepi
meninggi

Sedang suara habis terbawa angin Resah
sumpah
serapah

Kemudian diam
lelaki dalam balutan malam
diam menikam
dadanya terhunus parang malam

diam menikam

KATA YANG TERLUKA




(ini hanya sekedar kata)
------------------------------------
kemarin masih tersisa
sayatan kecil tidak lepas ditutupi
apalagi sembunyi
juga tak mungkin jadi prasasti

-kemarin itu ada luka-

arogansi menjauhkan getaran hati
bahkan membunuh toleransi
dan melepas nurani juga moralisasi

jabatan mengagungkan kebesaranmu
menyedekahkan hati untuk semu
bahkan rasa [jontonaisme]* hilang tertikam batu
dimana martabatmu

akan kau tanam takkala tuak dalam nawing
yang engkau tuang tunpah tak terbendung

lalu apa yang hendak kau pikir setelah itu??

sebab kemarin masih tersisa
sayatan kecil tidak sembuh ditutupi
apalagi sembunyi
juga tak mungkin jadi prasasti
so, mere atabele raya metearo
bo sare uhe
sebab kemarin itu masih ada luka
 ----------------------------------------
sekedar berkata-kata menanggapi kisruh bides dan kades di desa jontona, kecamata ile ape, kabupaten lembata, Provinsi NTT. 


catatan: 
nawing= sejenis tempat yang dibuat dari bambu untuk meenaamung air lontar, sering dipakai untuk urusan adat

mere atabele raya metearo bo sare uhe: kalau sudah mejadi pejabat, laksanakan tugas dengan baik



 

Rabu, 28 Agustus 2013

ELOK RUPA, TAK SEINDAH KABAR


Ketika kita menghargai kera dan diapun menghargai kita. tampak salah seorang pengunjung sedang berfoto bersama kera di Bukit Sari Sangeh
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

boro dengan kerah di obyek wisata sari sangeh/doc.boro




Objek wisata Sangeh, di Desa Sangeh, Badung Utara, Kabupaten Badung sudah terkenal sejak dahulu dengan sebutan monkey forrest-karena konon keberadaan Kera di hutan Homogen Sangeh itu sudah ada sejak abad ke 17 silam. Indah. Sejuk dan nyaman. Dikelolah menjadi obyek pariwisata sejak tahun 1970-an pernah mencapai kejayaan diawal 1980-an. Akhir-akhir ini Sangeh, hilang kabar. Kabar tentang Sangeh tak lagi indah seelok rupanya. Kini Sangeh tak lagi disebut sebagai Monkey Forest-tetapi sudah berganti nama menjadi Bukit Sari Sangeh dengan harapan kabar pun jadi indah, serupa Sangeh yang elok.  



Sangeh atau saat ini dikenal dengan nama Bukit Sari Sangeh, terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Badung Utara-Kabupaten Badung. Jarak dari Denpasar sekitar 21 KM. Bukit Sari Sangeh sejak 1 Januari 1969, dikelolah menjadi obyek wisata oleh Desa Adat Sangeh.  Dari dana punia atau urunan Sangeh di kelolah menbjadi obyek wisata yang layak di jual. Dan benar, tahun 1970an sampai dengan 1980-an sangeh merupakan obyek wisata favorit turis asing yang berlibur ke Bali.

“Sangeh dulu itu menjadi Favorit wisata turis asing, tahun 1970 sampai 1980an. Orang kenal Bali selain Pantai Sanur, Sangeh merupakan obyek wisata yang paling digemari saat itu,” ungkap Made Sumohon, Kepala Pengelolah Obyek Wisata Bukit Sari Sangeh, 26 Juli 2013.

made sumohon
Sumohon lalu menceritakan bahwa ketenaran Sangeh pudar dengan kejadian yang tidak diduga yakni peyerangan Kera terhadap beberapa pengunjung. Salah satunya adalah, demikian Sumohon, seorang sutradara Film yang sedang melakukan shooting film di Hutan Sangeh diserang Kera karena menendang Raja Kera lantaran lantaran tidak terima dengan perlakuan raja Kera yang merebut daun papaya yang dijadikan sebagai perlengakapan film.

“Ada beberapa kejadian lainnya. Memang dulu Kera disini liar. Ada yang suka mengambil kaca mata. Ada yang suka mengambil topi. Ada juga yang suka mengambil perhiasan pengunjung dan barang bawaan pengunjung lainnya,” ungkap Sumohon.

Karena kejadian penyerangan tersebut dan beberapa kejadian lainnya, Sangeh lalu hilang. Obyek Wisata yang penuh misteri ini pernah dihilangkan dari peta pariwisata Pulau Bali.

Soal keliaran Kera ini, dulu ada seorang bernama I Nyoman Sura, seorang juru kunci Bukit Sari Sangeh yang melakukan tugasnya Pawang­-selain sebagai tukang sapu. “Pawang itu sudah meninggal dan sampai dengan saat ini sudah tidak ada pawing lagi,” ungkap Sumohon.

1,2,3,4--foto dengan kerah di sangeh//boro



Walau tak ada Pawang, Kera saat ini tidak lagi liar. Sudah jinak. Mereka sudah tidak suka mencuri dan merebut barang bawaan pengunjung. Menurut Sunmohon, Kera yang dulunya liar dan suka mencuri karena tidak diperhatikan. Tidak beri makan. Dan banyak pengunjung tak mengerti dengan karakter kera.

Sangeh atau Bukit Sari sempat mati suri dan hilang dari promosi pariwisata sejak 1990an. Tahun 2003, berdasarkan rapat Desa Adat Sangeh, disepakati untuk mengelolah kembali.


Alhasil, dengan pengelolaan yang dilakukan oleh Desa Adat Sangeh ini, Kera pun tak lagi liar. pengelolaan diserahkan kepada utusan lima banjar yakni banjar Batu Sari, Banjar Bahmana, Banjar Sibang, Banjar Pemijian dan Banjar Muluk Babi.

Sudah sembilan tahun Sunmohon bersama 20 orang lainnya menjadi pengelolah Bukit Sari Sangeh dengan luas hamper 14 hektar dengan jumlah Kera sebanyak 600-700 ekor kera.

Gerakan promosipun kembali dilakukan oleh Sumohon bersama desa adapt. Usaha ini promosi kembali Bukit Sari Sangeh ini membawa trend positip. Jumlah pengunjungpun bergerak naik.


lanang wadong-pohon berjenis kelami dua//boro
Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Sumohon, kepada Suluh Bali, pada tahun 2003 pengunjung tidak mencapai 100 ribu orang, hanya mencapai angka 80.531 pengunjung. Dan laporan per akhir 2011 pengunjung sudah mencapai angka 204.808 pengunjung. pada tahun 2004 pengunjung mencapai 127.648, tahun 2005 153.453, 2006 dan 2007 masing-masing mencapai 153.400 dan 164.194 pengunjung. Kunjungan ke sangeh mencapai angkah 201.901 pada tahun 2008, meningkat terus di tahun 2009 dan 2010 dengan jumlah masing-masing 206.613 dan 227.102 pengunjung.

Melihat trend pengunjung yang semakin tertarik kembali ke Bukit Sari Sangeh, pihak pengelolahpun terus melakukan kerja sama dengan berbagai pihak termasuk dengan guid freelance.

“Kami bekerja sama dengan berbagai pihak termasuk dengan Guide freelance beberapa hotel dan biro jasa,” ungkap Sumohon seraya meminta agar pemerintah Kabupaten Badung dan Pemerintrah Provinsi bias merespon usaha pengelolaan Bukit Sari Sangeh dengan memasukan dalam paket wisata.

Misalnya, sebut Sumohon, paket wisata saat ini yang sudah berjalan adalah Sangeh-Taman Ayun-Joger-Bedugul. Dia berharap agar, semakin Bukit Sari Sangeh dimasukkan dalamk pekt wisata, yakinnya Bukit Sari Sangeh akan kembali obyek wisata favorit.



Kisah Unik dibalik Bukit Sari Sangeh

Banyak kisah terurai dibalik kemolekan bukit sari sangeh. Bantyak cerita misteri yang memancing rasa penasaran untuk mengetahui lebih jauh tentang sangeh dan Bukit Sarinya. Sangeh bukan saja soal kera. Juga tidak hanya soal hutan homogennya. Masih banyak lagi cerita misteri yang sulit untuk dipercaya tetapi ini nyata. Ada seribuh kisah unik dibalik kemolekan Bukit Sari Sangeh seperti yang dituturkan Ketut Sudana-salah sworang penjaga di Bukit Sari Sangeh.


36 Bangunan Suci Dijaga Ratusan Tentara Kera


Hutan Bukit Sari menyimpan banyak misteri yang belum terkuak. Dalam hutan ini terdapat beberapa pura seperti Pura Melanting, Pura Tirta, Pura anyar dan yang terbesar adalah Pura Bukit Sari. Jumlah bangunan yang ada di Bukit Sari Sangeh berjumlah 36 buah.

praajurit kerah di sangeh//boro
Berdasar catatan sejarah, Pura Bukit Sari terkait erat dengan Kerajaan Mengwi, dan dibangun oleh Anak Agung Anglurah Made Karang Asem Sakti, yang merupakan anak angkat dari Raja Mengwi Cokorda Sakti Blambangan.

Ada palinggih utama dan ada pelengkap. Ada Pelinggih Padmasari penyawangan Ulun Danu Beratan.

Ada dua Padmasari sebagai Pelinggih Ratu Puncak Kangin dan Ratu Puncak Kauh. Kemungkinan pelinggih ini untuk penyawangan ke Gunung Agung dan ke Pura Batur atau Ratu Batara Melanting.

Ada Pelinggih Meru Tumpang Sembilan. Ada Pelinggih Padmasana sebagai pemujaan Batara Sada Siwa. Ada empat Padmasari lagi masing-masing sebagai pemujaan Pucak Batur, sebagai Pelinggih Ratu Entap, Ratu Manik Galih dan Batara Wisnu.

Berbagai gagasan hidup untuk mendapatkan kehidupan yang sejahtera lahir batin di bumi ini divisualkan dalam wujud bangunan suci dan ritual sakral di Pura Besakih.

Sedangkan pemujaan pada Ida Batara Melanting dalam tradisi Hindu di Bali sebagai Dewa Pasar.

Pura Bukit Sari berada di tengah hutan pala Desa Sangeh, Badung bagian utara. Kawasan pura ini merupakan salah satu obyek wisata yang menggoda. Betapa tidak, pura yang tenang itu tampak seperti sebuah istana yang dikawal oleh ratusan pasukan kera.



Sangeh dan Pohon Pala

Nama Sangeh diyakini masyarakat sekitar terkait erat dengan Hutan Pala, yang berasal dari dua kata “Sang” yang berarti orang dan “Ngeh” yang berarti melihat, atau orang yang melihat.

Konon kayu-kayu Pala dalam perjalanan dari Gunung Agung di Bali Timur menuju perjalanan ke Bali Barat, tapi karena ada orang yang melihat, pohon-pohon tersebut berhenti di tempat yang sekarang dikenal sebagai Sangeh.

kawasan hutan homogen seluas ini dengan luas 14 hektar berisikan hutan Pala (Dipterocarpus trinervis) yang berumur ratusan tahun. Ada sekitar 200 pohon yang sudah berumur sekitar 300 tahun.



Kera pun Menghilang Saat Melasti

Masyarakat sekitar menganggap kera-Kera di Sangeh sebagai jelmaan Prajurit Putri yang dianggap sebagai Kera suci, sehingga keberadaan mereka tak boleh diganggu karena mereka dianggap membawa berkah bagi masyarakat Sangeh.

Seperti layaknya kehidupan manusia Bali, mereka mempunyai 3 kelompok atau Banjar, masing-masing Banjar Timur, Banjar Tengah dan Banjar Barat dimana setiap banjar memiliki pemimpin kelompok.

Dalam kehidupan kelompok para Kera juga mengenal persaingan antara pejantan untuk memperebutkan menjadi Raja dan masing-masing kelompok akan memperebutkan wilayah kekuasaan di Banjar Tengah yang memiliki sumber makanan terbanyak.

Siapapun boleh berkunjung ke tempat ini, kecuali bagi wanita yang sedang haid atau orang yang sedang ditinggal mati keluarganya. Hal tersebut untuk menjaga kesakralan pura yang dijunjung tinggi oleh masyarakat Sangeh.

Uniknya kera-Kera ini tidak akan kelihatan atau menghilang saat hari besar keagamaan dan juga bila upacara melasti di Desa Adat Sangeh. Saat melasti sedang belangsung di pagi hari, tidak ada satupun Kera yang muncul. Akan tetapi saat melasti selesai sore hari, kerapun terlihat begitu banyak dan bergerombol seperti biasa.



Pohon Berjenis Kelamin Dua

Selain Kera ada sebatang pohon unik karena berjenis kelamin. Satu pohon berjenis kelamin dua-masyarakat setempat biasa menyebutnya pohon Lanang Wadon, karena bagian bawah pohon itu berlubang sehingga menyerupai alat kelamin perempuan, sedangkan di tengah lubang tersebut tumbuh batang yang mengarah ke bawah yang terlihat seperti alat kelamin pria.

Pohon itu tumbuh persis di pelataran depan tempat wisata Sangeh dan sebenarnya merupakan pohon pule. Sementara di Bali, pohon pule memiliki banyak keistimewaan yang digunakan untuk keperluan khusus, misalnya membuat topeng yang dipakai sebagai sungsungan dan barong. #sandrowangak

DAN JEMARI RENTAH ITU TERUS MENARI (4)


 
 

Menghitung Sidik Jari Dari Ujung Jari Di Hayam Wuruk

---------------------------------------------------------------------------

Kisah pelukis ujung jari yang kemudian membranding jadi lukisan sidik jari masih panjang. Kisahhnya terus mengalir. Setiap kejadian direkam dengan jejak yang kian jelas oleh sang pemilik. Ngurah Gede Pemecutan. Bahwa memiliki museum sendiri untuk menyimpan kisah hidupnya adalah cita-citanya sejak dirinya masih sekolah. 

Dan benar. Uang hasil tabungan dan pameran tunggal di Surabaya 1969, Ngurah Pemecutan membeli sebidang tanah di bilangan Hayam Wuruk seluas 1792 m2. Dia memilih tanah ini karena saat itu ada sebuah gubuk pelukis namanya Bambang Sugeng, berukuran 3 x 6, tempat para pelukis handal zaman itu-sebut saja, Affandi, Rusli dan Wayan Kaya melukis. Dia membeli tanah persis dibelakang gubuk itu. dengan harapan suatu saat dia bisa melukis bersama dengan mereka. 

Setahun kemudian 1970, dia mulai membangun gubuk miliknya. Semacam studio mini tempat dia melukis. Ukurannya tidak besar saat itu. Hanya seluas 5 x 20 m2 berlantai tanah. Berdinding gedeg. 

Secara bertahap Ngurah Pemecutan memnbangun gubugnya ini. cita-citanya adalah museum. Dari dinging gedeg, pada tahun 1974 s/d 1975 dindiung gedeg diganti dengan tembok. Sementara gedeg yang tadinya dipakai untuk didinging beralih fungsi menja di plafon. “Semua ini saya bangun dari kerja keras dan keringat saya. Semuanya saya lakukan karena prinsip sudah kuat. Saya harus bandel sepertti kata konsul Amerika, Lukacini dan menteri itu. dan secara bertahap melakukan perbaikan dari tahun ke tahun,”kisahnya. 

Perjuangan panjang Ngurah Gede Pemecutan terwujud pada tahun 1993 ketika gedung museumnya rampung berdiri. Puluhan tahunn memang sejak tahun 1969 sampai dengan 1993. Waktu yang panjang untuk mewujudkan cita-cita. Membangun gedung museum pribadi. Museum inni akhirnya diresmikan pada tahun 1995 setelah pada tahun 1994 mendapat pengakuan dari menteri pendidikan dan kebudayaan RI. Tujuan museum ini awalnya hanya untuk menyimpan hasil karyanya. Hasil lukisan ujung jari.

Dan pemberian nama museum sidik jaripun tak kalah menarik. Serba kebetulan. Tidak ada perencanaan. Pasalnya, nama sidik jari muncul secara tiba-tiba saat dirinya memasang papan nama di depan gedung tersebut. Papan nama yang belum ada tulisan. saat papan nama sudah terpasang, tiba-tiba muncul nama Sidik Jari. “Tiba-tiba saja muncul. Dan saya langsung menulis nama museum ini dengan nama sidik jari di papan itu,” ungkapnya. 

Ternyata ada filosofinya tersendiri dibalik penamaan museum ini sebagai Museum Sidik Jari yakni sangat berkaitan dengan cara yang dipakai ketika membuat tulisan dimana ujung jari diolesi oleh aneka ragam cat sesuai dengan kepentingan lukisan yang bersumber dari imajinasi pelukisnya. Cocok dengan corak lukisannya. 

Saat Ngurah Pemecutan mengajak Detik Bali  masuk ke ruangan tempat dia biasa melukis terpampang sekian banyak lukisan dengan berbagai ukuran. Sesuai namanya, museum ini menyimpan lukisan yang hampir semuanya dibuat dengan menggunakan ujung jari. Maka, tak heran kalau sekilas yang tampak kanvas itu hanya diisi oleh bulatan-bulatan kecil. Untuk melihat objek lukisan, perlu diperhatikan lagi dengan saksama. Seperti lukisan berjudul Tari Baris yang terdapat di sudut ruang. Di dalamnya, tampak seorang wanita berkostum adat Bali sedang menari dengan kedua belah tangan yang terbuka. 

Lalu, ada efek bulatan-bulatan kecil di mahkotanya yang berwarna putih dan sepanjang kostum. Efek yang sama, lebih kentara lagi, pada lukisan yang dipajang di ruang berikutnya.
Hampir semua tampak penuh dengan bulatan-bulatan kecil. Dari mulai judulnya Aquarium, Ke Pura, Tari Legong, Penari Janger, Bunga Lely, dan Jalang di Kampung. Diperkirakan ada sekitar dua ratusan karya yang dipajang di tiga ruang terpisah. Koleksi yang dipamer saat itu baru sebagian dari seluruh karya yang sudah dihasilkan oleh Ngurah Gede. Diperkirakan dia sudah membuat lebih dari 600 lukisan. Tiga ruang tempat karya-karyanya dipamerkan mengurut proses kreatifnya, dari tahun 1954 hingga 2000-an.
 
Di ruang pertama, terdapat karya awal yang dibuat oleh Ngurah saat masih duduk di bangku SMP dan SMA, diantaranya lukisan binatang dengan tinta cina dan pena di atas kertas, lalu lukisan bunga-bunga dengan cat air. Beranjak lebih jauh, ada lukisan potret diri, naturalis dan impresionis yang cukup mengesankan. Masuk ke dua ruang berikutnya barulah hadir lukisan dengan sidik jari yang jadi khas sang pelukis yang kemudian dipertahankan sampai sekarang. Lukisan Tari Baris, yang dibuat tahun 1967 disebut sebagai objek pertama saat ide lukisan dengan menggunakan ujung jari itu berawal. Ada banyak ragam tema yang menjadi bahan dan objek lukis.

Selain dominasi wanita, ada juga lanskap, tari, dan kehidupan sosial. Dari semua lukisan yang ada, efek bulatan dan pewarnaan menjadi yang paling mencolok. Lukisan-lukisan itu tampak beda dan memiliki ciri khas tersendiri yang berkesan dan menempel di ingatan. Khusus di ruang tiga, selain lukisan, juga terdapat sejumlah karya Ngurah berupa kerajinan tangan. Semuanya dipajang di sebuah etalase kaca yang beragam jenisnya. Dari mulai mainan anak-anak, cermin, hingga barang kerajinan yang dibuat dari papan tripleks dan keramik Bali yang dilukis.

Dari semua lukisan yang ada, ada lukisan Peperangan di Puri Pemecutan. Lukisannya besar, dan banyak detilnya. Menceritakan perang yang terjadi di Puri Pemecutan (sampai sekarang, Puri nya masih ada, dan lokasinya di tikungan antara jalan Hasanuddin menuju Thamrin, sebelah kanan jalan). Namanya perang, dilukisan ini terlihat banyak Pasukan dari Puri, serdadu-serdadu Belanda, juga ada kisah penyelamatan bayi-bayi anggota puri Pemecutan.

Lukisan-lukisan ini, baru dapat dinikmati kalau dilihat dari jarak yang agak jauh. Kalau dilihat dari dekat, yang kelihatan cuma bulatan sidik jari dengan warna. 

Ketika disinggung soal fungsi lain dari museum ini, Ngurah mengatakan dirinya semakin rentah. Sudah tidak kuat lagi melukis seperti zaman dahulu. Dirinya memiliki cita-cita menjadikan museum ini sebagai tempat dia menularkan ilmunya. “Sampai dengan saat ini sudah banyak orang yang datang dan belajar kepada saya. Saya memang ingin mentransfer ilmu saya kepada siapapun tetapi dari semua yang datang tidak satupun yang berhasil. Ada juga dari Jepang.Suriname dan Amerika. Mereka datang belajar disini. Tetapi tidak satupun yang berhasil menguasainya. Termasuk sekitar 40 mahasiswa dari ISI Denpasar,” kilahnya.

Umurnya sudah uzur. tetapi semangatnya masih tetap membarah.ingin memberi lebih lagi dalam hidupnya. Tak pelak tahun 2012 ini Museum sidik jari ini mengalami renovasi besar-besaran. Thema renovasi muse mini adalah mendidikan mencintai keluarga melalui pemahaman akan fungsi dan tugas dalam keluarga. Sehingga museum ini dirancang dalam tiga pola. Pola mendidik anak-anak. Mendidik Ibu. Mendidik ayah. Selain itu, ketikla hendak mengunjungi Museum sidik Jari akan ditemukan rupa-rupa bunga. Juga ada perpustakaan yang bisa dibeli buku-bukunya namanya Toga Mas yang dibangun sartru areal dengan Museum bekas bangunan Bambang Sugeng dahulu.

Perjalanan dan hasil karya Ngurah Pemecutan ini akhirnya mendapat pengakuan rekor Muri, pada Juli 2012 mendapat penghargaan sebagai pelopor melukis dengan teknik sidik jari juga sebagai kolektor sidik jari terbanyak 1.574 sidik jari pelukis sendiri. 

Disodok pertanyaan bagaimana menghitung jumlah sidik jari yang dihasilkan, pelukis yang sudah menggelar pameran sebanyak 25 kali ini bertutur, setiap 4 cm terdapat 9 sidik jari. saat ini sudah sekitar 600 lukisan. “Dihitung saja jumlahnya berapa,” ungkapnya seraya meminta kepada semua masyarakat yang ingin belajar melukis dengan teknik sidik jari, atau sekedar melsncong mencari inspirasi maka Museum Sidik dibuka untuk umum.
“Museum ini memang menyimpan kisah perjalanan saya sebagai pribadi. Sebagai pelukis. Sebagai penyair. sebagai orang Bali. Dengan manajemen tunggal dibawah kendali saya sendiri. Tetapi harus museum ini bukan milik saya pribadi. Milik semua orang. Termasuk ilmu melukis saya. Bukan hanya milik saya sendiri. Milik semua orang, termasuk milik mas juga bila ingin belajar melukis dengan teknik ujung jari,” tutup Pria kelahiran 4 Juli 1936 dari keluarga Puri Pemecutan di Denpasar, ini sembari berujar disetiap goresan ujung jari yang menghasilkan sidik jari di atas kanvas beriksah tentang guratan hidupnya. (habis)