Senin, 26 Agustus 2013

SUATU PAGI DI PEDUNGAN



 
tumpukan sampah di jalan pulau belitung, pedungan//doc.amaboro
-------------------------------------

Wayan Pande, 45 tahun, warga jalan Pulau Kawe, harus berteriak sepagi itu, jam 5, karena salah seorang tetangganyua membuang sampah dilahan kosong samping rumahnya. Memang tumpukan sampah yang dibuang tidak terlalu banyak tetapi tetangga itu melanggar tulisan yang sudah ditempelkan oleh pihak banjar bahwa jangan membuang sampah disini.

Tidak jauh dari rumah Wayan Pande, ada tunmpukan sampa dan terlihat banyak orang hiruk pikuk memisahkan sampah plastik. Itu adalah tempat pembuangan sakhir sampah untuk, daerah Pedungan dan sekitarnya. Letaknya persis di Samping Circle-K, ketika pagi menjelang maka kemacetan menjadi langganan. Karena aktivitas armada pengangkutan sampah bahkan sampah sendiri terkadang meluber sampai ke tengah badan jalan. 


pekerja sampah sedang mengumpulkan sampah sebelum di angkut///doc.amaboro

Di Jalan Pulau Roon ada jembatan, diatas Sungai Badung. Terlihat sampah menumpuk dalam sungai. Warga membuang sampahnya ke sungai. Padahal, sungai kecil itu masih difungsikan sebagai tempat mandi dan mencuci baju.
Yayasan Wisnu yang bergerak di bidang kampanye lingkungan memaparkan setiap hari rata-rata volume sampah yang dihasilkan warga Kota Denpasar sebesar 1.029 meter kubik. Sebanyak 67% sampah organik berupa daun, tumbuhan, sisa makanan. Sekitar 26% sampah anorganik, dan sisanya jenis lain.

Dari jumlah sampah itu, sekitar 87% dicampur dan tidak jelas pengelolaannya, 9% dibakar, dan sisanya dibuang sembarangan. Sampah itu tidak dipilah antara organik, anorganik, maupun yang beracun.

“Masalah pokok sektor persampahan adalah keterbatasan lahan untuk pembungan akhir dan belum adanya sisitem kelola penanganan sampah secara baik,” kata Made Suarnatha, Direktur Yayasan Wisnu.

Data DKP pada 1999 menyebutkan, pemerintah menangani sampah untuk ditimbun di TPA sekitar 68%. Perusahaan Daerah (PD) Pasar 17%, swasta 3%, sisanya sekitar 12% ditangani masayarakat. Sementara menurut analisa Wisnu, sekitar 13% sampah tanpa penanganan sama sekali.
Penanganan sampah masih didominasi oleh pemerintah, sedangkan peran masyarakat sangat kecil. “Karena itu dapat dilihat bahwa masalah sampah hanya maslah pemerintah. Masyarakat tidak dididik untuk mengelola sampahnya,” tambah Suarnatha.

Selain sampah rumah tangga, terdapat sumber sampah yang lain dalam jumlah besar yang dihasilkan fasilitas pariwisata, seperti hotel dan restoran. Kehadiran wisatawan tidak hanya menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) tapi juga sampah yang harus ditangani dengan benar.
Menurut catatan Wisnu, pengelolaan sampah di tempat pariwisata yang dilakukan sendiri juga sulit dikontrol. Proses penangananya adalah pemisahan sampah basah untuk makanan ternak, pemisahan sampah anorganik untuk dijual kembali, sisanya berupa residu dibuang ke TPA.

TPA juga dapat menghasilkan masalah baru seperti beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan sampah. Misalnya air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen hasil penguraian sampah. Selain itu pembentukan gas. Penguraian bahan organik secara aerobik akan menghasilkan gas CO2, sedangkan penguraian bahan organik pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3.

Gas CH4 perlu ditangani karena merupakan salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.
Menurut Suarnatha, sistem pengelolaan sampah harus dikritisi kembali. Untuk mengurangi sampah menggunung di TPA dan sulit diolah. “Pemerintah dan masyarakat harus berbagi peran dalam pengelolaan sampah,” tambah Suarnatha. Salah satu tawarannya adalah sisitem material recovery facility (MRF). Sistem ini mengharuskan warga memilah sampah yang sebagiannya dapat dijual kembali. Hal ini memberi keuntungan untuk warga. Residu hasil pilahan ini yang diangkut ke TPA oleh DKP.

Dari pengalaman Wisnu melakukan ini untuk mengelola sampah bekerja sama dengan sektor pariwisata, volume yang bisa dikurangi sampai 60%. Jika pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini berjalan, maka pemerintah hanya perlu konsentrasi masalah pengelolaan TPA.

Kini, proyek pengelolaan sampah terpadu Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita) menjadi tenaga listrik di TPA Suwung telah diitnggalkan investornya dari Inggris. Sampah terlihat makin tinggi di atas hamparan tanah sekitar 40 hektar. Dari pengamatan, rata-rata tinggi gundukan sampah adalah dua meter. Jika sampah ini dikumpulkan dalam lahan satu hektar saja, maka tinggi sampah mencapai 80 meter, lebih tinggi dari Hotel Bali Beach, Sanur, hotel tertinggi di Bali. Tentu menakjubkan melihat hotel sampah satu hektar berdiri di Bali. 

Pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat telah meningkatkan jumlah timbulan sampah, jenis, dan keberagaman karakteristik sampah.  Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi serta meningkatnya usaha atau kegiatan penunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang dihasilkan.   Meningkatnya volume timbulan sampah memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah yang tidak mempergunakan metode dan teknik pengelolaan sampah yang ramah lingkungan selain akan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan juga akan sangat mengganggu kelestarian fungsi lingkungan baik lingkungam pemukiman, hutan, persawahan, sungai dan lautan.

Berdasarkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan  berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat digolongkan menjadi: sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; sampah yang tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-lain; sampah yang berupa debu/abu; dan sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya.

Untuk mewujudkan kota bersih dan hijau, pemerintah telah mencanangkan berbagai program yang pada dasarnya bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan sampah. Program Adipura misalnya pada tahun 2007 telah mampu mengantarkan Provinsi Bali menjadi Provinsi Adipura karena semua kabupaten dan kota di Bali telah berhasil mendapatkan Anugerah Adipura. 

Walaupun telah mendapat adipura bukan berarti tidak terdapat permasalahan sampah, Apresiasi pemerintah dan masyarakat selalu dituntut untuk melakukan pengelolaan sampah sehingga pada gilirannya sampah dapat diolah secara mandiri dan menjadi sumberdaya. Mencermati penomena di atas maka sangat diperlukan model pengelolaan sampah yang baik dan tepat dalam upaya mewujudkan perkotaan dan perdesaan yang  bersih dan hijau di Provinsi Bali. 

Lalu Perda sampah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Provinsi Bali di tahun 2011 lalu, gimana kabarya.? (sandrowangak)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

katakan yang sejujurnya apa yang engkau pikirkan tentang tulisan ini