tumpukan sampah di jalan pulau belitung, pedungan//doc.amaboro
-------------------------------------
Wayan Pande, 45 tahun, warga
jalan Pulau Kawe, harus berteriak sepagi itu, jam 5, karena salah seorang
tetangganyua membuang sampah dilahan kosong samping rumahnya. Memang tumpukan
sampah yang dibuang tidak terlalu banyak tetapi tetangga itu melanggar tulisan
yang sudah ditempelkan oleh pihak banjar bahwa jangan membuang sampah disini.
Tidak jauh dari rumah Wayan
Pande, ada tunmpukan sampa dan terlihat banyak orang hiruk pikuk memisahkan
sampah plastik. Itu adalah tempat pembuangan sakhir sampah untuk, daerah Pedungan
dan sekitarnya. Letaknya persis di Samping Circle-K, ketika pagi menjelang maka
kemacetan menjadi langganan. Karena aktivitas armada pengangkutan sampah bahkan
sampah sendiri terkadang meluber sampai ke tengah badan jalan.
pekerja sampah sedang mengumpulkan sampah sebelum di angkut///doc.amaboro |
Di Jalan Pulau Roon ada
jembatan, diatas Sungai Badung. Terlihat sampah menumpuk dalam sungai. Warga
membuang sampahnya ke sungai. Padahal, sungai kecil itu masih difungsikan
sebagai tempat mandi dan mencuci baju.
Yayasan Wisnu yang bergerak di
bidang kampanye lingkungan memaparkan setiap hari rata-rata volume sampah yang
dihasilkan warga Kota Denpasar sebesar 1.029 meter kubik. Sebanyak 67% sampah
organik berupa daun, tumbuhan, sisa makanan. Sekitar 26% sampah anorganik, dan
sisanya jenis lain.
Dari jumlah sampah itu, sekitar
87% dicampur dan tidak jelas pengelolaannya, 9% dibakar, dan sisanya dibuang
sembarangan. Sampah itu tidak dipilah antara organik, anorganik, maupun yang
beracun.
“Masalah pokok sektor
persampahan adalah keterbatasan lahan untuk pembungan akhir dan belum adanya
sisitem kelola penanganan sampah secara baik,” kata Made Suarnatha, Direktur
Yayasan Wisnu.
Data DKP pada 1999 menyebutkan,
pemerintah menangani sampah untuk ditimbun di TPA sekitar 68%. Perusahaan
Daerah (PD) Pasar 17%, swasta 3%, sisanya sekitar 12% ditangani masayarakat.
Sementara menurut analisa Wisnu, sekitar 13% sampah tanpa penanganan sama
sekali.
Penanganan sampah masih
didominasi oleh pemerintah, sedangkan peran masyarakat sangat kecil. “Karena
itu dapat dilihat bahwa masalah sampah hanya maslah pemerintah. Masyarakat
tidak dididik untuk mengelola sampahnya,” tambah Suarnatha.
Selain sampah rumah tangga,
terdapat sumber sampah yang lain dalam jumlah besar yang dihasilkan fasilitas
pariwisata, seperti hotel dan restoran. Kehadiran wisatawan tidak hanya
menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) tapi juga sampah yang harus ditangani
dengan benar.
Menurut catatan Wisnu,
pengelolaan sampah di tempat pariwisata yang dilakukan sendiri juga sulit
dikontrol. Proses penangananya adalah pemisahan sampah basah untuk makanan
ternak, pemisahan sampah anorganik untuk dijual kembali, sisanya berupa residu
dibuang ke TPA.
TPA juga dapat menghasilkan
masalah baru seperti beberapa jenis pencemaran di lahan penimbunan sampah.
Misalnya air lindi, yang keluar dari dalam tumpukan sampah karena masuknya
rembesan air hujan ke dalam tumpukan sampah lalu bersenyawa dengan komponen
hasil penguraian sampah. Selain itu pembentukan gas. Penguraian bahan organik
secara aerobik akan menghasilkan gas CO2, sedangkan penguraian bahan organik
pada kondisi anaerobik akan menghasilkan gas CH4, H2S, dan NH3.
Gas CH4 perlu ditangani karena
merupakan salah satu gas rumah kaca serta sifatnya mudah terbakar. Sedangkan
gas H2S, dan NH3 merupakan sumber bau yang tidak enak.
Menurut Suarnatha, sistem
pengelolaan sampah harus dikritisi kembali. Untuk mengurangi sampah menggunung
di TPA dan sulit diolah. “Pemerintah dan masyarakat harus berbagi peran dalam
pengelolaan sampah,” tambah Suarnatha. Salah satu tawarannya adalah sisitem
material recovery facility (MRF). Sistem ini mengharuskan warga memilah sampah
yang sebagiannya dapat dijual kembali. Hal ini memberi keuntungan untuk warga.
Residu hasil pilahan ini yang diangkut ke TPA oleh DKP.
Dari pengalaman Wisnu melakukan
ini untuk mengelola sampah bekerja sama dengan sektor pariwisata, volume yang
bisa dikurangi sampai 60%. Jika pengelolaan sampah berbasis masyarakat ini
berjalan, maka pemerintah hanya perlu konsentrasi masalah pengelolaan TPA.
Kini, proyek pengelolaan sampah
terpadu Denpasar-Badung-Gianyar-Tabanan (Sarbagita) menjadi tenaga listrik di
TPA Suwung telah diitnggalkan investornya dari Inggris. Sampah terlihat makin
tinggi di atas hamparan tanah sekitar 40 hektar. Dari pengamatan, rata-rata
tinggi gundukan sampah adalah dua meter. Jika sampah ini dikumpulkan dalam
lahan satu hektar saja, maka tinggi sampah mencapai 80 meter, lebih tinggi dari
Hotel Bali Beach, Sanur, hotel tertinggi di Bali. Tentu menakjubkan melihat
hotel sampah satu hektar berdiri di Bali.
Pertambahan
jumlah penduduk, perubahan pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat telah
meningkatkan jumlah timbulan sampah, jenis, dan keberagaman karakteristik
sampah. Meningkatnya daya beli
masyarakat terhadap berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi serta
meningkatnya usaha atau kegiatan penunjang pertumbuhan ekonomi suatu daerah
juga memberikan kontribusi yang besar terhadap kuantitas dan kualitas sampah
yang dihasilkan. Meningkatnya volume
timbulan sampah memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah yang tidak
mempergunakan metode dan teknik pengelolaan sampah yang ramah lingkungan selain
akan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan juga akan sangat
mengganggu kelestarian fungsi lingkungan baik lingkungam pemukiman, hutan,
persawahan, sungai dan lautan.
Berdasarkan
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan sehari-hari
manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah dimaksudkan
adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan
dan penanganan sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya sampah dapat
digolongkan menjadi: sampah ada yang mudah membusuk terdiri atas sampah organik
seperti sisa sayuran, sisa daging, daun dan lain-lain; sampah yang tidak mudah
membusuk seperti plastik, kertas, karet, logam, sisa bahan bangunan dan
lain-lain; sampah yang berupa debu/abu; dan sampah yang berbahaya (B3) bagi
kesehatan, seperti sampah berasal dari industri dan rumah sakit yang mengandung
zat-zat kimia dan agen penyakit yang berbahaya.
Untuk mewujudkan kota bersih
dan hijau, pemerintah telah mencanangkan berbagai program yang pada dasarnya
bertujuan untuk mendorong dan meningkatkan kapasitas masyarakat dalam
pengelolaan sampah. Program Adipura misalnya pada tahun 2007 telah mampu
mengantarkan Provinsi Bali menjadi Provinsi Adipura karena semua kabupaten dan
kota di Bali telah berhasil mendapatkan Anugerah Adipura.
Walaupun telah
mendapat adipura bukan berarti tidak terdapat permasalahan sampah, Apresiasi
pemerintah dan masyarakat selalu dituntut untuk melakukan pengelolaan sampah
sehingga pada gilirannya sampah dapat diolah secara mandiri dan menjadi
sumberdaya. Mencermati penomena di atas maka sangat diperlukan model
pengelolaan sampah yang baik dan tepat dalam upaya mewujudkan perkotaan dan
perdesaan yang bersih dan hijau di
Provinsi Bali.
Lalu Perda sampah yang sudah ditetapkan oleh pemerintah Provinsi
Bali di tahun 2011 lalu, gimana kabarya.? (sandrowangak)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
katakan yang sejujurnya apa yang engkau pikirkan tentang tulisan ini