Menghitung Sidik Jari Dari Ujung Jari Di Hayam Wuruk
---------------------------------------------------------------------------
Kisah
pelukis ujung jari yang kemudian membranding jadi lukisan sidik jari masih
panjang. Kisahhnya terus mengalir. Setiap kejadian direkam dengan jejak yang
kian jelas oleh sang pemilik. Ngurah Gede Pemecutan. Bahwa memiliki museum
sendiri untuk menyimpan kisah hidupnya adalah cita-citanya sejak dirinya masih
sekolah.
Dan
benar. Uang hasil tabungan dan pameran tunggal di Surabaya 1969, Ngurah
Pemecutan membeli sebidang tanah di bilangan Hayam Wuruk seluas 1792 m2.
Dia memilih tanah ini karena saat itu ada sebuah gubuk pelukis namanya Bambang
Sugeng, berukuran 3 x 6, tempat para pelukis handal zaman itu-sebut saja,
Affandi, Rusli dan Wayan Kaya melukis. Dia membeli tanah persis dibelakang
gubuk itu. dengan harapan suatu saat dia bisa melukis bersama dengan mereka.
Setahun
kemudian 1970, dia mulai membangun gubuk miliknya. Semacam studio mini tempat
dia melukis. Ukurannya tidak besar saat itu. Hanya seluas 5 x 20 m2
berlantai tanah. Berdinding gedeg.
Secara
bertahap Ngurah Pemecutan memnbangun gubugnya ini. cita-citanya adalah museum.
Dari dinging gedeg, pada tahun 1974 s/d 1975 dindiung gedeg diganti dengan
tembok. Sementara gedeg yang tadinya dipakai untuk didinging beralih fungsi
menja di plafon. “Semua ini saya bangun dari kerja keras dan keringat saya. Semuanya
saya lakukan karena prinsip sudah kuat. Saya harus bandel sepertti kata konsul
Amerika, Lukacini dan menteri itu. dan secara bertahap melakukan perbaikan dari
tahun ke tahun,”kisahnya.
Perjuangan
panjang Ngurah Gede Pemecutan terwujud pada tahun 1993 ketika gedung museumnya
rampung berdiri. Puluhan tahunn memang sejak tahun 1969 sampai dengan 1993.
Waktu yang panjang untuk mewujudkan cita-cita. Membangun gedung museum pribadi.
Museum inni akhirnya diresmikan pada tahun 1995 setelah pada tahun 1994
mendapat pengakuan dari menteri pendidikan dan kebudayaan RI. Tujuan museum ini
awalnya hanya untuk menyimpan hasil karyanya. Hasil lukisan ujung jari.
Dan
pemberian nama museum sidik jaripun tak kalah menarik. Serba kebetulan. Tidak
ada perencanaan. Pasalnya, nama sidik jari muncul secara tiba-tiba saat dirinya
memasang papan nama di depan gedung tersebut. Papan nama yang belum ada
tulisan. saat papan nama sudah terpasang, tiba-tiba muncul nama Sidik Jari.
“Tiba-tiba saja muncul. Dan saya langsung menulis nama museum ini dengan nama
sidik jari di papan itu,” ungkapnya.
Ternyata
ada filosofinya tersendiri dibalik penamaan museum ini sebagai Museum Sidik
Jari yakni sangat berkaitan dengan cara yang dipakai ketika membuat tulisan
dimana ujung jari diolesi oleh aneka ragam cat sesuai dengan kepentingan
lukisan yang bersumber dari imajinasi pelukisnya. Cocok dengan corak
lukisannya.
Saat
Ngurah Pemecutan mengajak Detik Bali
masuk ke ruangan tempat dia biasa melukis terpampang sekian banyak
lukisan dengan berbagai ukuran. Sesuai namanya, museum ini menyimpan lukisan
yang hampir semuanya dibuat dengan menggunakan ujung jari. Maka, tak heran
kalau sekilas yang tampak kanvas itu hanya diisi oleh bulatan-bulatan kecil.
Untuk melihat objek lukisan, perlu diperhatikan lagi dengan saksama. Seperti
lukisan berjudul Tari Baris yang terdapat di sudut ruang. Di dalamnya, tampak
seorang wanita berkostum adat Bali sedang menari dengan kedua belah tangan yang
terbuka.
Lalu,
ada efek bulatan-bulatan kecil di mahkotanya yang berwarna putih dan sepanjang
kostum. Efek yang sama, lebih kentara lagi, pada lukisan yang dipajang di ruang
berikutnya.
Hampir semua tampak penuh dengan bulatan-bulatan kecil. Dari mulai judulnya Aquarium, Ke Pura, Tari Legong, Penari Janger, Bunga Lely, dan Jalang di Kampung. Diperkirakan ada sekitar dua ratusan karya yang dipajang di tiga ruang terpisah. Koleksi yang dipamer saat itu baru sebagian dari seluruh karya yang sudah dihasilkan oleh Ngurah Gede. Diperkirakan dia sudah membuat lebih dari 600 lukisan. Tiga ruang tempat karya-karyanya dipamerkan mengurut proses kreatifnya, dari tahun 1954 hingga 2000-an.
Hampir semua tampak penuh dengan bulatan-bulatan kecil. Dari mulai judulnya Aquarium, Ke Pura, Tari Legong, Penari Janger, Bunga Lely, dan Jalang di Kampung. Diperkirakan ada sekitar dua ratusan karya yang dipajang di tiga ruang terpisah. Koleksi yang dipamer saat itu baru sebagian dari seluruh karya yang sudah dihasilkan oleh Ngurah Gede. Diperkirakan dia sudah membuat lebih dari 600 lukisan. Tiga ruang tempat karya-karyanya dipamerkan mengurut proses kreatifnya, dari tahun 1954 hingga 2000-an.
Di
ruang pertama, terdapat karya awal yang dibuat oleh Ngurah saat masih duduk di
bangku SMP dan SMA, diantaranya lukisan binatang dengan tinta cina dan pena di
atas kertas, lalu lukisan bunga-bunga dengan cat air. Beranjak lebih jauh, ada
lukisan potret diri, naturalis dan impresionis yang cukup mengesankan. Masuk ke
dua ruang berikutnya barulah hadir lukisan dengan sidik jari yang jadi khas
sang pelukis yang kemudian dipertahankan sampai sekarang. Lukisan Tari Baris,
yang dibuat tahun 1967 disebut sebagai objek pertama saat ide lukisan dengan
menggunakan ujung jari itu berawal. Ada banyak ragam tema yang menjadi bahan
dan objek lukis.
Selain
dominasi wanita, ada juga lanskap, tari, dan kehidupan sosial. Dari semua
lukisan yang ada, efek bulatan dan pewarnaan menjadi yang paling mencolok.
Lukisan-lukisan itu tampak beda dan memiliki ciri khas tersendiri yang berkesan
dan menempel di ingatan. Khusus di ruang tiga, selain lukisan, juga terdapat
sejumlah karya Ngurah berupa kerajinan tangan. Semuanya dipajang di sebuah
etalase kaca yang beragam jenisnya. Dari mulai mainan anak-anak, cermin, hingga
barang kerajinan yang dibuat dari papan tripleks dan keramik Bali yang dilukis.
Dari
semua lukisan yang ada, ada lukisan Peperangan di Puri Pemecutan. Lukisannya
besar, dan banyak detilnya. Menceritakan perang yang terjadi di Puri Pemecutan (sampai
sekarang, Puri nya masih ada, dan lokasinya di tikungan antara jalan Hasanuddin
menuju Thamrin, sebelah kanan jalan). Namanya perang, dilukisan ini terlihat
banyak Pasukan dari Puri, serdadu-serdadu Belanda, juga ada kisah penyelamatan
bayi-bayi anggota puri Pemecutan.
Lukisan-lukisan
ini, baru dapat dinikmati kalau dilihat dari jarak yang agak jauh. Kalau
dilihat dari dekat, yang kelihatan cuma bulatan sidik jari dengan warna.
Ketika
disinggung soal fungsi lain dari museum ini, Ngurah mengatakan dirinya semakin
rentah. Sudah tidak kuat lagi melukis seperti zaman dahulu. Dirinya memiliki
cita-cita menjadikan museum ini sebagai tempat dia menularkan ilmunya. “Sampai
dengan saat ini sudah banyak orang yang datang dan belajar kepada saya. Saya
memang ingin mentransfer ilmu saya kepada siapapun tetapi dari semua yang datang
tidak satupun yang berhasil. Ada juga dari Jepang.Suriname dan Amerika. Mereka
datang belajar disini. Tetapi tidak satupun yang berhasil menguasainya.
Termasuk sekitar 40 mahasiswa dari ISI Denpasar,” kilahnya.
Umurnya
sudah uzur. tetapi semangatnya masih tetap membarah.ingin memberi lebih lagi
dalam hidupnya. Tak pelak tahun 2012 ini Museum sidik jari ini mengalami
renovasi besar-besaran. Thema renovasi muse mini adalah mendidikan mencintai
keluarga melalui pemahaman akan fungsi dan tugas dalam keluarga. Sehingga
museum ini dirancang dalam tiga pola. Pola mendidik anak-anak. Mendidik Ibu.
Mendidik ayah. Selain itu, ketikla hendak mengunjungi Museum sidik Jari akan
ditemukan rupa-rupa bunga. Juga ada perpustakaan yang bisa dibeli buku-bukunya
namanya Toga Mas yang dibangun sartru areal dengan Museum bekas bangunan
Bambang Sugeng dahulu.
Perjalanan
dan hasil karya Ngurah Pemecutan ini akhirnya mendapat pengakuan rekor Muri,
pada Juli 2012 mendapat penghargaan sebagai pelopor melukis dengan teknik sidik
jari juga sebagai kolektor sidik jari terbanyak 1.574 sidik jari pelukis
sendiri.
Disodok
pertanyaan bagaimana menghitung jumlah sidik jari yang dihasilkan, pelukis yang
sudah menggelar pameran sebanyak 25 kali ini bertutur, setiap 4 cm terdapat 9
sidik jari. saat ini sudah sekitar 600 lukisan. “Dihitung saja jumlahnya
berapa,” ungkapnya seraya meminta kepada semua masyarakat yang ingin belajar
melukis dengan teknik sidik jari, atau sekedar melsncong mencari inspirasi maka
Museum Sidik dibuka untuk umum.
“Museum
ini memang menyimpan kisah perjalanan saya sebagai pribadi. Sebagai pelukis.
Sebagai penyair. sebagai orang Bali. Dengan manajemen tunggal dibawah kendali
saya sendiri. Tetapi harus museum ini bukan milik saya pribadi. Milik semua
orang. Termasuk ilmu melukis saya. Bukan hanya milik saya sendiri. Milik semua
orang, termasuk milik mas juga bila ingin belajar melukis dengan teknik ujung
jari,” tutup Pria kelahiran 4 Juli 1936 dari keluarga Puri Pemecutan di
Denpasar, ini sembari berujar disetiap goresan ujung jari yang menghasilkan
sidik jari di atas kanvas beriksah tentang guratan hidupnya. (habis)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
katakan yang sejujurnya apa yang engkau pikirkan tentang tulisan ini