Rabu, 25 September 2013

Banggakah Orang Bali Menjadi Petani Subak?



Orang Bali mesti bangga memiliki subak. Bukan karena penghargaan Unesco itu. Tetapi lebih pada warisan ini adalah satu-satunya didunia. Tidak ada lagi selain di Pulau Bali ini. Bila sudah bangga memiliki subak, apakah Orang Bali juga bangga sebagai petani subak..?

sawah subak di bali//
Tengoklah sejenak ke pematang sawah orang disebut subak itu. Ada berapa banyak generasi muda bermandikan keringat seraya menanam padi. Mereka yang pematang subak itu rata-rata sudah terlalu tua, sementara anak-anak serta cucu-cucu mereka yang masih muda tak pernah sudi berada didesa menjadi petani. Ke kota, dan tentu saja industri, menjadi pegawai negeri atau pegawai perusahaan swasta, adalah tujuan utama para generasi muda Bali saat ini.

Ironi memang. Bali yang dikenal sebagai bangunan budaya agraris sejak abad XI, kini hanyalah sebuah bangunan rapuh yang jika tidak segera mendapat perhatian dan langkah-langkah penyelamatan, akan segera rontok di tengah perilaku hedonis dengan lakon yang kasar.

Sementara itu pemerintah selalu menekankan bahwa pertanian harus diselamatkan. Tanah-tanah pertanian, baik perkebunan maupun persawahan harus dicegah dari pengalihfungsian lahan yang semakin menggila. Tetapi jika petani yang tersisa hanya para sepuh dengan tenaga mereka yang sudah tua.

Kampanye-kampanye pemerintah seakan masuk telinga kiri lalu tembus telinga kanan tentang penyelamatan dan pelestarian pertanian di Bali karena semangat kaum muda Bali untuk meninggalkan kehidupan bertani itu sendiri sungguh tidak diragukan lagi.

Bagaimana mungkin pertanian itu bisa diselamatkan? Bagaimana mungkin Bali dengan pertaniannya bisa dilestarikan? Jangan dulu pesimis mesti optimis untuk menyelamatkan pertanian subak karena Nyoman Gde Putra Astawa, Tutik Tutik Kusumawardani dan Made Mangku Pastika memliki solusi untuk itu.

Hal yang paling penting dilakukan saat ini, Kata Tutik Kusumawardani, tidak boleh membuat petani frustrasi. "Pajak yang tinggi, hasil pertanian yang tidak menjanjikan karena terkadang lebih besar dari pengeluaran, itu yang buat petani frustrasi. Orang bali tak lagi bangga menjadi petani. Karena sudah tidak bangga inilah timbul perilaku menjual lahan pertaniannya. Kondisi ini harus dicarikan jalan ke luar jika tidak ingin pertanian di Bali hanya tinggal cerita," tutur mantan Calon Bupati Buleleng dari Demokrat itu.

Dengan harapan, alih fungsi lahan tidak menjadi-jadi dan petani tetap merasa nyaman untuk bertani. "Harus ada semacam perda khusus yang mengatur soal lahan pertanian. Memang ada Perda RTRW, namun faktanya masih setengah hati dijalankan oleh kabupaten dan kota," ujar Tutik, seraya membeberkan alih fungsi lahan pertanian selama lima tahun terakhir sebanyak 5000 hektar artinya sekitar 1000 hektar/tahun.

Solusi lainnya yang ditawarkan untuk menekan alih fungsi lahan ini, selainperda khusus, imbuhnya, pemerintah juga perlu membangunkan lahan tidur yang selama ini sama sekali tidak dilirik. "Masih banyak lahan tidur di Bali, seperti di Karangasem, Buleleng dan Klungkung. Lahan-lahan yang selama ini dinilai tidak produktif, harus mulai dioptimalkan," ucap srikandi Demokrat itu.

Soal adalah alokasi anggaran untuk pertanian di Bali saat ini, masih sangat minim. Bahkan tiap tahunnya, anggaran untuk sektor ini belum mencapai 3 persen. "Padahal, idealnya anggaran untuk pertanian itu minimal harus 10 persen," kata anggota Komisi II DPRD Bali Nyoman Gde Putra Astawa.

Untuk tahun anggaran 2012 ini, anggaran di sektor pertanian memang sangat minim dibanding sektor lainnya. Khusus untuk tanaman pangan, dalam APBD Bali dialokasikan Rp36,2 miliar dan dari APBN sebesar Rp74,5 miliar.

Adapun untuk sektor perkebunan, dari APBD Bali jumlahnya sebesar Rp7,1 miliar dan dari APBN mencapai Rp18,8 miliar. Sementara untuk sektor peternakan dianggarkan sebesar Rp12,4 miliar dari APBD Bali dan Rp84,5 miliar dari APBN.

"Dengan anggaran yang minim ini, tentu sektor pertanian tetap terpuruk di bawah dua sektor lainnya yang mendukung perekonomian Bali, yang pariwisata dan jasa serta infrastruktur," tutur politikus PDIP ini.

Menurut Putra Astawa, sektor pertanian sesungguhnya mampu menopang ekonomi Bali. Ini dibuktikan ketika sebelum industri pariwisata berkembang, sektor pertanian menjadi yang terdepan dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat Bali. Ketika Bali diguncang bom, sektor pertanian tetap bertahan. Bahkan sektor ini menunjukkan geliatnya saat pariwisata Bali terpuruk setelah dihantam bom.

Pemerintah diharapkan memberikan perhatian yang serius terhadap sektor pertanian. Perhatian tersebut dapat berupa alokasi anggaran sebesar 10 persen serta membuat regulasi khusus agar sektor pertanian kembali bergairah.

“Dalam perda ini nanti diatur lahan-lahan yang dilarang untuk dibangun. Soal perhatian pemerintah daerah untuk para pemilik lahan, seperti berupa insentif kepada petani, harus ditegaskan di dalamnya,” tegas Astawa.

Dengan begitu, upaya mempertahankan lahan pertanian menjadi lebih konkrit, dan orang Bali akan bangga menjadi petani subak. Kalaupun semua solusi yang ditawarkan diatas tak sempurna diwujudkan, seyogyanya, orang Bali mesti bangga menjadi petani subak.
Banggakah orang Bali menjadi petani subak ? Ini sekedar pertanyaan Reflektif saja..***








Untung Ada Unesco.?_____________________________
 
“Pengaturan tentang subak sudah dilakukan pada tahun 1972 melalui perda nomor 02/PD/DPRD/1972 tentang irigasi yang ditetapkan pada tanggal 13 Desember 1972 oleh DPRD Bsli saat itu,” jelas Mangku Pastika saat rapat paripuran tentang renperda Subak di Gedung DPRD Bali sepekan silam.

Made Mangku Pastika/Gubernur Bali
Perda ini menurut Pastika sudah tidak lagi relevan dengan perkembangan dan kebutuhan terkini. Oleh karena itu, mesti ada perda baru yang mengatur soal perda ini. Dan pemerintah provinsi Bali melalui tim proledga yang melibatkan instansi terkait dan kelompok ahli bidang hukum sedang melakukan pembahasan soal materi ranperda ini.

Perubahan perda nomor 02 tahun 1972 ini sungguh dibutuhkan tetapi rasanya pemerintah terlambat bila tak mau dibilang baru sadar (maaf) untuk mengurus subak dengan segala tetek bengek persoalannya dalam sebuah aturan yang baku. 

Bayangkan sejak abad XI sampai tahun 1972 baru ada satu aturan yang namanya perda dalam mengatur soal subak. Dan sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 2012, baru sadar untuk merubah perda subak itu. Mungkin karena penghargaan Unesco itu-Mudah-mudahan bukan karena itu. Ironi memang, untung ada penghargaan Unesco sehingga ranperda tentang subak menggelitik hati para pemangku kepentingan. Bila tidak, apa kata lelulur Bali.?

Gaung subak dihati masayarakat Bali kalah bergemah dengan gemuru pariwisata. Buktinya, alih fungsi lahan pertanian di Bali kian mengkhawatirkan. Perkembangan industri pariwisata yang menggiurkan, memberi andil besar bagi keadaan ini. Ditambah lagi perhatian pemerintah di sektor pertanian masih setengah hati, sehingga menjadikan minat masyarakat untuk bertani semakin menurun. (sandro wangak)-naskah berita yang ditulis untuk Tabloid Suluh Bali


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

katakan yang sejujurnya apa yang engkau pikirkan tentang tulisan ini