Orang Bali mesti bangga memiliki subak. Bukan karena
penghargaan Unesco itu. Tetapi lebih pada warisan ini adalah satu-satunya
didunia. Tidak ada lagi selain di Pulau Bali ini. Bila sudah bangga memiliki
subak, apakah Orang Bali juga bangga sebagai petani subak..?
sawah subak di bali// |
Tengoklah
sejenak ke pematang sawah orang disebut subak itu. Ada berapa banyak generasi
muda bermandikan keringat seraya menanam padi. Mereka yang pematang subak itu
rata-rata sudah terlalu tua, sementara anak-anak serta cucu-cucu mereka yang
masih muda tak pernah sudi berada didesa menjadi petani. Ke kota, dan tentu
saja industri, menjadi pegawai negeri atau pegawai perusahaan swasta, adalah
tujuan utama para generasi muda Bali saat ini.
Ironi memang. Bali yang dikenal sebagai bangunan budaya agraris sejak abad XI, kini hanyalah sebuah bangunan rapuh yang jika tidak segera mendapat perhatian dan langkah-langkah penyelamatan, akan segera rontok di tengah perilaku hedonis dengan lakon yang kasar.
Sementara itu pemerintah selalu menekankan bahwa pertanian harus diselamatkan. Tanah-tanah pertanian, baik perkebunan maupun persawahan harus dicegah dari pengalihfungsian lahan yang semakin menggila. Tetapi jika petani yang tersisa hanya para sepuh dengan tenaga mereka yang sudah tua.
Ironi memang. Bali yang dikenal sebagai bangunan budaya agraris sejak abad XI, kini hanyalah sebuah bangunan rapuh yang jika tidak segera mendapat perhatian dan langkah-langkah penyelamatan, akan segera rontok di tengah perilaku hedonis dengan lakon yang kasar.
Sementara itu pemerintah selalu menekankan bahwa pertanian harus diselamatkan. Tanah-tanah pertanian, baik perkebunan maupun persawahan harus dicegah dari pengalihfungsian lahan yang semakin menggila. Tetapi jika petani yang tersisa hanya para sepuh dengan tenaga mereka yang sudah tua.
Kampanye-kampanye
pemerintah seakan masuk telinga kiri lalu tembus telinga kanan tentang
penyelamatan dan pelestarian pertanian di Bali karena semangat kaum muda Bali
untuk meninggalkan kehidupan bertani itu sendiri sungguh tidak diragukan lagi.
Bagaimana
mungkin pertanian itu bisa diselamatkan? Bagaimana mungkin Bali dengan
pertaniannya bisa dilestarikan? Jangan dulu pesimis mesti optimis untuk
menyelamatkan pertanian subak karena Nyoman Gde Putra Astawa, Tutik Tutik
Kusumawardani dan Made Mangku Pastika memliki solusi untuk itu.
Hal yang
paling penting dilakukan saat ini, Kata Tutik Kusumawardani, tidak boleh
membuat petani frustrasi. "Pajak yang tinggi, hasil pertanian yang tidak
menjanjikan karena terkadang lebih besar dari pengeluaran, itu yang buat petani
frustrasi. Orang bali tak lagi bangga menjadi petani. Karena sudah tidak bangga
inilah timbul perilaku menjual lahan pertaniannya. Kondisi ini harus dicarikan
jalan ke luar jika tidak ingin pertanian di Bali hanya tinggal cerita,"
tutur mantan Calon Bupati Buleleng dari Demokrat itu.
Dengan harapan, alih fungsi lahan tidak menjadi-jadi dan petani tetap merasa nyaman untuk bertani. "Harus ada semacam perda khusus yang mengatur soal lahan pertanian. Memang ada Perda RTRW, namun faktanya masih setengah hati dijalankan oleh kabupaten dan kota," ujar Tutik, seraya membeberkan alih fungsi lahan pertanian selama lima tahun terakhir sebanyak 5000 hektar artinya sekitar 1000 hektar/tahun.
Dengan harapan, alih fungsi lahan tidak menjadi-jadi dan petani tetap merasa nyaman untuk bertani. "Harus ada semacam perda khusus yang mengatur soal lahan pertanian. Memang ada Perda RTRW, namun faktanya masih setengah hati dijalankan oleh kabupaten dan kota," ujar Tutik, seraya membeberkan alih fungsi lahan pertanian selama lima tahun terakhir sebanyak 5000 hektar artinya sekitar 1000 hektar/tahun.
Solusi lainnya yang ditawarkan untuk menekan alih
fungsi lahan ini, selainperda khusus, imbuhnya, pemerintah juga perlu
membangunkan lahan tidur yang selama ini sama sekali tidak dilirik. "Masih
banyak lahan tidur di Bali, seperti di Karangasem, Buleleng dan Klungkung.
Lahan-lahan yang selama ini dinilai tidak produktif, harus mulai
dioptimalkan," ucap srikandi Demokrat itu.
Soal adalah alokasi anggaran untuk pertanian di Bali saat ini, masih sangat minim. Bahkan tiap tahunnya, anggaran untuk sektor ini belum mencapai 3 persen. "Padahal, idealnya anggaran untuk pertanian itu minimal harus 10 persen," kata anggota Komisi II DPRD Bali Nyoman Gde Putra Astawa.
Untuk tahun anggaran 2012 ini, anggaran di sektor pertanian memang sangat minim dibanding sektor lainnya. Khusus untuk tanaman pangan, dalam APBD Bali dialokasikan Rp36,2 miliar dan dari APBN sebesar Rp74,5 miliar.
Adapun untuk sektor perkebunan, dari APBD Bali jumlahnya sebesar Rp7,1 miliar dan dari APBN mencapai Rp18,8 miliar. Sementara untuk sektor peternakan dianggarkan sebesar Rp12,4 miliar dari APBD Bali dan Rp84,5 miliar dari APBN.
"Dengan anggaran yang minim ini, tentu sektor pertanian tetap terpuruk di bawah dua sektor lainnya yang mendukung perekonomian Bali, yang pariwisata dan jasa serta infrastruktur," tutur politikus PDIP ini.
Menurut Putra Astawa, sektor pertanian sesungguhnya mampu menopang ekonomi Bali. Ini dibuktikan ketika sebelum industri pariwisata berkembang, sektor pertanian menjadi yang terdepan dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat Bali. Ketika Bali diguncang bom, sektor pertanian tetap bertahan. Bahkan sektor ini menunjukkan geliatnya saat pariwisata Bali terpuruk setelah dihantam bom.
Pemerintah diharapkan memberikan perhatian yang serius terhadap sektor pertanian. Perhatian tersebut dapat berupa alokasi anggaran sebesar 10 persen serta membuat regulasi khusus agar sektor pertanian kembali bergairah.
“Dalam perda ini nanti diatur lahan-lahan yang dilarang untuk dibangun. Soal perhatian pemerintah daerah untuk para pemilik lahan, seperti berupa insentif kepada petani, harus ditegaskan di dalamnya,” tegas Astawa.
Soal adalah alokasi anggaran untuk pertanian di Bali saat ini, masih sangat minim. Bahkan tiap tahunnya, anggaran untuk sektor ini belum mencapai 3 persen. "Padahal, idealnya anggaran untuk pertanian itu minimal harus 10 persen," kata anggota Komisi II DPRD Bali Nyoman Gde Putra Astawa.
Untuk tahun anggaran 2012 ini, anggaran di sektor pertanian memang sangat minim dibanding sektor lainnya. Khusus untuk tanaman pangan, dalam APBD Bali dialokasikan Rp36,2 miliar dan dari APBN sebesar Rp74,5 miliar.
Adapun untuk sektor perkebunan, dari APBD Bali jumlahnya sebesar Rp7,1 miliar dan dari APBN mencapai Rp18,8 miliar. Sementara untuk sektor peternakan dianggarkan sebesar Rp12,4 miliar dari APBD Bali dan Rp84,5 miliar dari APBN.
"Dengan anggaran yang minim ini, tentu sektor pertanian tetap terpuruk di bawah dua sektor lainnya yang mendukung perekonomian Bali, yang pariwisata dan jasa serta infrastruktur," tutur politikus PDIP ini.
Menurut Putra Astawa, sektor pertanian sesungguhnya mampu menopang ekonomi Bali. Ini dibuktikan ketika sebelum industri pariwisata berkembang, sektor pertanian menjadi yang terdepan dalam pertumbuhan ekonomi masyarakat Bali. Ketika Bali diguncang bom, sektor pertanian tetap bertahan. Bahkan sektor ini menunjukkan geliatnya saat pariwisata Bali terpuruk setelah dihantam bom.
Pemerintah diharapkan memberikan perhatian yang serius terhadap sektor pertanian. Perhatian tersebut dapat berupa alokasi anggaran sebesar 10 persen serta membuat regulasi khusus agar sektor pertanian kembali bergairah.
“Dalam perda ini nanti diatur lahan-lahan yang dilarang untuk dibangun. Soal perhatian pemerintah daerah untuk para pemilik lahan, seperti berupa insentif kepada petani, harus ditegaskan di dalamnya,” tegas Astawa.
Dengan begitu, upaya mempertahankan lahan pertanian
menjadi lebih konkrit, dan orang Bali akan bangga menjadi petani subak.
Kalaupun semua solusi yang ditawarkan diatas tak sempurna diwujudkan,
seyogyanya, orang Bali mesti bangga menjadi petani subak.
Banggakah orang Bali menjadi
petani subak ? Ini sekedar pertanyaan Reflektif saja..***
“Pengaturan tentang subak sudah dilakukan pada tahun
1972 melalui perda nomor 02/PD/DPRD/1972 tentang irigasi yang ditetapkan pada
tanggal 13 Desember 1972 oleh DPRD Bsli saat itu,” jelas Mangku Pastika saat
rapat paripuran tentang renperda Subak di Gedung DPRD Bali sepekan silam.
Made Mangku Pastika/Gubernur Bali |
Perda ini menurut Pastika sudah tidak lagi relevan
dengan perkembangan dan kebutuhan terkini. Oleh karena itu, mesti ada perda
baru yang mengatur soal perda ini. Dan pemerintah provinsi Bali melalui tim
proledga yang melibatkan instansi terkait dan kelompok ahli bidang hukum sedang
melakukan pembahasan soal materi ranperda ini.
Perubahan perda nomor 02 tahun 1972 ini sungguh
dibutuhkan tetapi rasanya pemerintah terlambat bila tak mau dibilang baru sadar
(maaf) untuk mengurus subak dengan
segala tetek bengek persoalannya dalam sebuah aturan yang baku.
Bayangkan sejak
abad XI sampai tahun 1972 baru ada satu aturan yang namanya perda dalam
mengatur soal subak. Dan sejak tahun 1972 sampai dengan tahun 2012, baru sadar
untuk merubah perda subak itu. Mungkin
karena penghargaan Unesco itu-Mudah-mudahan
bukan karena itu. Ironi memang, untung ada penghargaan Unesco sehingga
ranperda tentang subak menggelitik hati para pemangku kepentingan. Bila tidak, apa kata lelulur Bali.?
Gaung subak dihati masayarakat Bali kalah bergemah
dengan gemuru pariwisata. Buktinya, alih fungsi lahan pertanian di Bali kian
mengkhawatirkan. Perkembangan industri pariwisata yang menggiurkan, memberi
andil besar bagi keadaan ini. Ditambah lagi perhatian pemerintah di sektor
pertanian masih setengah hati, sehingga menjadikan minat masyarakat untuk
bertani semakin menurun. (sandro wangak)-naskah berita yang ditulis untuk Tabloid
Suluh Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
katakan yang sejujurnya apa yang engkau pikirkan tentang tulisan ini