Senin, 09 September 2013

YANG BERCORAK ITU HANYA DARI NTT (2)

corak motif kain tenun ntt di missworld'13 nusadua bali//doc.amaboro
Ke Flores 

Flores pada umumnya membuat tenun ikat. Hal ini dapat dihubungkan di dalam sejarah wilayah Flores bagian Barat yang banyak mendapat pengaruh dari Kerajaan Bima pada sekitar abad ke-17. Kerajaan kecil Manggarai di bagian tengah dari Flores Barat pada waktu itu berada di bawah kekuasaan Kerajaan Bima dari Sumbawa timur. Pada sekitar abad ke-19 kekuasaan Kerajaan Bima makin lama makin mundur terutama akibat bencana alam yang dialami oleh orang Sumbawa yang tinggal di Flores oleh adanya ledakan gunung Tambora dalam tahun 1815. Orang manggarai memberontak melawan Bima dan berhasil mengusir mereka dari Flores Barat. Pengaruh yang ditinggalkan antara lain walaupun sebagian besar penduduk Flores umumnya dan khususnya di Manggarai beragama katolik dan Kristen protestan, tetapi ada sebagian kecil penduduknya yang beragama islam.

Flores memiliki masyarakat dengan kebudayaan lokal yang beraneka ragam dan juga kerajinan tenun ikat yang terkenal. Kain tenun ikat Flores merupakan cenderamata khas bagi para wisatawan asing dan domestik. Pada umumnya tenun ikat Flores dibuat oleh kaum wanita yang memiliki daya cipta dan kreasi seni tinggi.
Setiap daerah Flores menampilkan corak dan ragam hias serta warna yang berbeda-beda. Keragaman motif kain tenun ikat Flores bukan hanya sebatas kreasi seni, tapi pembuatannya juga mempertimbangkan simbol status sosial, keagamaan, budaya dan ekonomi.




Bahkan, ada beberapa motif tertentu yang pembuatannya melalui perenungan dan konsentrasi tinggi, motif dan ragam hiasnya mengandung nilai filosofis, penggunaannya diperuntukkan bagi hal-hal yang berkaitan dengan adat dan budaya, serta menjadikannya sebagai tradisi yang terwaris sampai hari ini.
Berbeda dengan kain tenun dari berbagai kawasan lain di Indonesia yang racikannya dari bahan kimia. Dalam pembuatan kain tenun Flores, pewarnaan kain diracik dari dedaunan dan tumbuhan khas Flores .
Pewarnaan adalah merupakan tahapan yang paling rumit dan lama. Proses pewarnaan untuk sehelai kain harus dilakukan berbulan-bulan oleh orang yang benar-benar ahli agar sari warna yang berasal dari racikan tumbuh-tumbuhan benar–benar meresap pada urat benang.
Beberapa jenis tumbuhan yang biasa digunakan sebagai bahan pewarnaan, yaitu, mengkudu, tarum, zopha, kemiri , ndongu, buah usuk dan lain–lain, sehingga nuansa warna kain tenun ikat NTT terdiri dari: merah, yang dihasilkan dari akar mengkudu dan hitam nila yang dihasilkan dari daun tarum.
Kain tenun Flores harus ditenun dengan alat tenun yang sangat tradisonal, dililit dipinggang wanita penenun, melekat tak terpisahkan. Kaum wanita biasanya diajarkan cara menenun. Oleh banyak kaum wanita, mempelajari tenunan daerah dipahami sebagai tanggung jawab untuk terus mempertahankan warisan leluhur. Memakai kain tenun ikat daerah dalam aktivitas sehari-hari pun dipandang lebih fashionable dan bergengsi. Bukan hanya karena lebih keren, juga lebih berkarakter.
Dengan proses pembuatan yang lebih rumit dari kain tenun di sejumlah daerah lain, harap anda maklum jika sehelai kain tenun Flores bisa lebih mahal dari kain songket Palembang asli atau batik Jawa asli.
Masyarakat Sikka atau suku Sikka, mendiami daerah kabupaten Sikka di pulau Flores dengan kota terbesar sekaligus ibukota yaitu Maumere. Seperti halnya dengan daerah-daerah lain di wilayah Nusa Tenggara Timur, bahkan di Indonesia, kebudayaan masyarakat Sikka mencerminkan adanya pengaruh-pengaruh asing seperti Bugis, Cina, Portugis, Belanda, Arab dan India. Dibidang agama tampak benar pengaruh Portugis dan Belanda yang membawa agama Katolik dan Protestan serta tatabusana barat yang dewasa ini sudah menjadi pakaian sehari-hari masyarakat. Sedangkan pengaruh India amat nyata pula hasil tenunan, yakni pada pembagian bidang-bidang dan corak yang diilhami oleh kain patola. Walaupun demikian masyarakat Sikka tetap mampu mempertahankan ungkapan budaya tradisionalnya lewat busana serta tata riasnya.


Dimasa lalu suku Sikka mengenal tingkatan sosial yakni bangsawan dan masyarakat umum. Namun dewasa ini hal tersebut sudah ditinggalkan. Pada tatacara berbusana tampak jelas bahwa tidak ada perbedaan yang mencolok antara keturunan ningrat dan rakyat, kecuali mungkin pada halus tidaknya tenunan, jahitan dan ukiran-ukiran perangkat perhiasannya.
Busana Adat Pria
Perangkat busana adat pria secara umum terdiri atas kain penutup badan dan penutup kepala. Kain atau baju penutup badan terdiri atas labu bertangan panjang, biasanya berwarna putih mirip kemeja gaya barat. Selembar lensu sembar diselendangkan pada dada, bercorak flora atau fauna dalam teknik ikat lungsi. Pada bagian pinggang dikenakan utan atau utan werung yaitu sejenis sarung berwarna gelap, bergaris biru melintang. Tatawarna kain Sikka umumnya tampil dalam nada-nada gelap seperti hitam atau biru tua dengan ragi yang lebih cerah berwarna putih, kuning atau merah. Istilah untuk sarung selain utan adalah lipa. Dimasa lalu bangsawan memakai lipa dengan ragi yang masih baru, ragi werung.
Destar, tutup kepala pria terbuat dari kain batik soga dan dikenakan dengan pola ikatan tertentu sehingga ujungujungnya turun menempel pada kedua sisi wajah dekat telinga.
Perhiasan yang penting tetapi jarang dikenakan adalah keris yang disisipkan pada pinggang sebagai pertanda keperkasaan dan kesaktian.
Busana Adat Wanita
Seperti halnya pada kaum pria, busana adat wanita Sikka tidak (lagi) mengenal perbedaan strata sosial yang mencolok. Bagianbagian busana wanita Sikka terdiri atas penutup badan berupa labu liman berun, berbentuk mirip kemeja berlengan panjang terbuat dari sutera atau kain yang bagus mutunya. Labu wanita ini terbuka sedikit pada pangkal leher guna memudahkan pemakaian sebab polanya tidak menyerupai kemeja atau blus yang lazim berkancing pada bagian depannya. Diatas labu dikenakan dong, sejenis selendang yang diselempangkan melintang dada.
Kain sarung wanita, utan lewak, dihiasi dengan ragam-ragam flora, fauna dalam lajur-lajur bergaris. Utan lewak, arti harfiahnya adalah kain tiga lembar, berwarna dasar gelap dengan paduan-paduan antara warna-warna merah, coklat, putih, biru dan kuning secara melintang. Warna-warna kain wanita melambangkan berbagai suasana hati atau kekuatan-kekuatan magis. Hitam misalnya biasanya dipakai untuk melayat orang meninggal. Merah dan coklat melambangkan keagungan dan status sosial yang tinggi. Paduan warna juga menunjuk pada usia. Warna-warna yang gelap biasanya dipakai oleh orang tua, sedangkan warna-warna cerah digemari oleh kaum muda. Demikian pula hal dengan warna dong, apabila gelap mencerminkan duka, sebaliknya warna-warna muda adalah untuk suasana suka ria, pesta dan sebagainya.

Cara mengenakan utan selain sebagaimana tersebut di atas juga dengan menyampirkan sebagian pinggir kain di atas bahu dengan melintangkan tangan kanan (atau kiri sesuai pembawaan masing-masing) di bawah dada seperti hendak menjepit kain. Perlambang warna dan cara-cara menyandang utan berlaku pula pada kaum pria Sikka.
Hiasan kepala tersemat pada sanggul atau konde dalam bentuk tusuk konde biasanya terbuat dari ukiran keemasan. Perhiasan pada rambut dewasa ini sudah amat bervariasi karena pengaruh-pengaruh dari suku-suku lainnya di Nusa Tenggara Timur.
Pada pergelangan tangan dipakai kalar yang terbuat dari gading dan perak. Penggunaanya disesuaikan dengan suasana peristiwa seperti upacara-upacara atau pesta-pesta adat. Jumlah kalar gading dan perak (atau emas) biasanya genap. Yakni dua atau empat gading dengan dua perak pada setiap tangan. Kaum berada atau ningrat biasanya mengenakan lebih banyak namun tetap dalam bilangan genap seperti enam, delapan dan seterusnya. Perhiasan lainnya adalah kilo yang tergantung pada telinga.
RUTENG
Ibukota Kabupaten Manggarai ini adalah sebuah kota pasar (market town) yang merupakan tempat pertemuan masyarakat yang datang dari berbagai desa di wilayah perbukitan di daerah ini untuk berjual-beli. Ruteng adalah kota yang dikelilingi persawahan yang membentang di lereng landai kawasan gunung vulkanis yang terdapat di wilayah ini. Sebagian besar penduduk Ruteng umumnya adalah orang Manggarai yang dikenal pemalu namun ramah dengan ciri khas antara lain kain sarung hitam yang sering mereka kenakan. Bahasa Manggarai tidak dimengerti oleh suku lainnya di Flores kecuali oleh orang Manggarai sendiri. Sekitar 3 Km dari Ruteng terdapat sebuah desa tradisional Compang Ruteng yang cukup banyak menerima kedatangan wisatawan. Salah satu daya tarik tempat ini adalah suatu tempat yang disebut compang yaitu suatu komplek yang terdiri dari altar pemujaan arwah leluhur yang dikelilingi dinding batu dan dua rumah adat yang menghadap ke altar. Salah satu rumah adat itu dinamakan Mbaru Gendrang yang merupakan tempat pertemuan para tetua desa dan tempat dimulainya berbagai upacara adat. Rumah ini juga menyimpan berbagai pusaka adat yang dianggap suci salah satunya adalah penutup kepala berbentuk tanduk kerbau terbuat dari emas atau perak yang disebut panggal yang digunakan saat pertarungan caci.
Kain tenun manggarai berupa songket. Songket manggarai pada umumnya tidak menggunakan dasar kain dari benang sutera tetapi benang katun. Dalam gaya desainnya lebih banyak menggunakan motif geometris seperti beberapa variasi silangan motif kait, deretan belah ketupatatau potongan intan, bentuk-bentuk tersebut dibuat sedemikian rupa yang antara lain menyerupai bentuk reptilian, bentuk abstraksi orang dalam bentuknya yang menonjol seperti badan dan kedua tangan dan kaki yang terbentang.
Ada dua bagian desain pada kain sarungnya yaitu desain yang menghias bagian badan lain yang terdiri dari motif-motif yang tersebar dan biasanya hanya satu macam motif saja. Kemudian ada bagian desain yang menghias bagian kepala kain. Pada bagian kepala kain lebih dari sepuluh jalur besar dan kecil yang berisi berbagai variasi garis geometris. Dasar kain tenunannya gelap antara lain berwarna biru kehitaman. Sedangkan warna desainnya cerah dan warna terang yang tampak sebagai warna yang kontras.
E N D E
Wilayah Kabupaten Ende terletak di bagian tengah Pulau Flores dengan batas-batas di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Flores, sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Sawu, sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Sikka dan di sebelah Barat berbatasan dengan kabupaten Ngada.
Hasil tenunan di daerah Ende bergaya Eropa. Lokasinya yang terletak di pesisir selatan Flores, memungkinkan orang-orang Ende berhubungan dengan bangsa pendatang seperti orang Eropa. Tenun Ende lebih banyak menggunakan warna cokelat dan merah, dengan menggunakan ragam hias motif ala Eropa. Salah satu ragam hias kain Ende yang berbeda dengan kain tenun daerah-daerah lain adalah hanya menggunakan satu motif pada bidang tengah-tengah kain. Motif tersebut diulang-ulang dan baru berhenti pada jalur pembatas bermotif sulur di kedua ujung kain yang menyerupai tumpal dan diberi hiasan rumbai-rumbai. Jalur pembatas kain-kain tenun Flores pada umumnya tidak hanya di kedua ujung kain, melainkan dapat dibuat di bagian tengah, samping, kedua ujung, atau pinggir kain. Kain berlatar belakang hitam. Ragam hias pada kain ini ada pada jalur-jalur horisontal yang memberi kesan seperti gemerlap cermin, yang diwujudkan dalam pembiasan garis geometris. Kain ini terdiri dari dua helai yang digabung dengan jahitan tangan. Pada jalur besar tampak motif ceplok bunga, yang diilhami oleh kain patola. Pengaruh kain patola juga tampak pada adanya barisan tumpal. 
_(cari sambungan)








Tidak ada komentar:

Posting Komentar

katakan yang sejujurnya apa yang engkau pikirkan tentang tulisan ini