Senin, 09 September 2013

YANG BERCORAK ITU HANYA DARI NTT (3)

Ke Sumba
peserta missworld'13, nusaduabali, dengan pakaian adat ntt//doc.amaboro
Pulau Sumba terletak di barat - daya Propinsi NTT, tepatnya berjarak sekitar 96 km di sebelah selatan P. Flores, 295 km di sebelah barat daya P. Timor dan 1.125 km di sebelah barat laut Darwin Australia. Menjelajah pulau Sumba terbesit pesan bahwa Sumba adalah pulaunya para arwah karena di setiap sudut kota dan kampungnya tersimpan persembahan dan pujian pada leluhur. Nama Sumba atau Humba berasal dari nama ibu model Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba. Altar megalik dan batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampong dan dusun (paraingu) adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme itu.
Sumba juga dikenal dengan produk kain tenun ikat khususnya tenun ikat yang berasal dari Sumba timur. Tenun ikat asal daerah ini disebut-sebut sebagai yang paling indah dengan warnanya yang cerah dengan motif-motif yang menceritakan kehidupan masyarakat Sumba masa lalu. Sumba barat dikenal karena rumah adatnya yang menarik dan juga makam tua peninggalan leluhur orang Sumba.
Masyarakat Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
Di Sumba Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari. Bagian terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks sosial, ekonomi serta religi suku sumba.
Di Sumba seperti juga di Flores kain tenun untuk pakaian adat mereka pada umumnya dibuat desain dengan cara ikat. Tetapi ada suatu cara membuat kain sarung untuk wanita yang berbeda denan kain yang ditenun untuk laki-laki. Desain pada kain sarung wanita khususnya yang menghias jalur besar di bagian bawah sarung yaitu motif-motif besar yang dibuat dengan lungsi tambahkan.
Motif-motifnya antara lain berbentuk orang yang menggambarkan leluhur, pohon hayat, fauna seperti burung, ayam, kuda, dan lain-lainnya. Motif tersebut biasanya hanya satu warna yaitu warna putih sesuai dengan warna benang katunnya. Desain ini tampak menonjol karena diberi latar belakang warna lain yang kontras dengan warna putih hiasannya.
Kain sarung untuk wanita disebut laud an selendang desain ikat untuk laki-laki disebut hinggi. Daerah pembuatan tenun yang terkenal yaitu pantai Utara dan Timur dari Sumba Timur.
Busana Adat Pria
Sebagaimana telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa ini cenderung lebih ditekankan pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian daripada hirarki status sosial. Namun masih ada perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya busana pria bangsawan biasanya terbuat dari kain-kain dan aksesoris yang lebih halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen serta tampak keseluruhannya sama. Melihat dari hal-hal tersebut maka pembahasan busana pria sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar, upacara, pesta-pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia tampil dalam keadaan terbaiknya. Busana pria Sumba terdiri atas bagian-bagian penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan senjata tajam.
Sebagai penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau terkadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan, samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan. Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.
Ragam-ragam hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam, ular, naga, buaya, kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai dengan corak-corak yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda) yakni naga, bendera tiga warna, mahkota dan singa. Kesemuanya memiliki arti serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam pikiran serta kepercayaan mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga mencerminkan nilai estetis dan status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu hinggi raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu.
Selanjutnya busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada sebelah kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar dan mutisalak. Secara tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki, namun dewasa ini perlengkapan tersebut semakin banyak digunakan khususnya didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan, muti salak menyatakan kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini merupakan simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang.
Corak Hinggi
Pembahasan tentang sebuah bentuk motif atau warna pada kain tidak terlepas dari kajian terhadap sistem desain coraknya secara keseluruhan. Demikian pula halnya dengan bentuk naga pada hinggi. Pengertian corak dalam hal ini mencakup motif dan nada warna. Corak hinggi memenuhi keseluruhan permukaan lembar dan terdiri atas motif figuratif, motif skematik dan motif pengaruh asing. Kelompok figuratif bersumber pada lingkungan dan kebudayaan lokal dan terdiri dari bentuk-bentuk mahluk hidup (manusia, fauna dan flora) dan alam benda misalnya artefak berupa perhiasan. Kelompok motif skematik, yakni motif berbentuk dasar kerawang, terdiri atas motif-motif yang diduga bersumber baik pada gagasan lokal maupun pengaruh asing dalam bentuk abstrak. Kelompok motif pengaruh asing terdiri atas motif-motif yang bersumber pada eko-budaya dari luar kawasan Sumba Timur terutama dari India, Cina, Portugis, dan Belanda. Pengaruh India terlihat pada motif patola ratu. Pengaruh Portugis tampak di motif kerawang yang mirip dengan bentuk salib pada lencana para satria (pasukan bersenjata). Pengaruh Belanda terutama tampil pada bentuk lambang singa dan perisai, mahkota serta bendera tiga warna. Pengaruh Cina tampak pada kehadiran bentuk naga.




Pewarnaan hinggi berbasis pada dua nada warna yakni merah (kombu) dan biru (wora). Kedua nada warna itu secara konfiguratif tampil baik secara individual maupun bersamaan (tercampur). Penampilannya secara tercampur dilakukan melalui teknik pencelupan berlapis sehingga menampilkan nada-nada warna ke tiga, yakni dalam rentang nada warna cokelat tua, merah tua hingga ungu tua.
Corak hinggi terdiri dari dua kelompok penjaluran corak dalam susunan diametrikal yang dipisahkan oleh sebuah jalur corak penengah. Motif-motif figuratif baik lokal maupun asing berada pada kedua kelompok jalur diametrikal tersebut sebagai motif utama bersamaan dengan sejumlah motif pengisi, sedangkan motif-motif skematis menempati jalur corak tengah. Motif-motif pengaruh asing menempati penjaluran corak diametrikal dan secara hirarkis berada pada posisi motif utama. Menilik hal tersebut maka motif naga pada hinggi merupakan motif utama dalam konfigurasi pencorakan hinggi. Artinya bahwa secara dimensional motif tersebut befrukuran terbesar dibandingkan dengan motif-motif lainnya.
Hubungan dengan Cina
Sebagai bagian dari Nusantara masyarakat Sumba secara tidak langsung terlibat dalam kancah perdagangan antar pulau maupun antar negara di kawasan Asia Tenggara yang berkedudukan strategis di jalur lintas pelayaran antara Asia Timur menuju kawasan India dan Timur Tengah. Hubungan dengan Cina Motif Naga pada Hinggi Sumba Timur diperkirakan sudah terjadi pada masa antara abad 1 dan abad 7. Salah satu komoditas terpenting dalam kancah perdagangan antar pulau maupun antar negara di kawasan Asia Tenggara kala itu adalah produk-produk keramik dan sutera buatan Cina.
Perdagangan antar pulau dengan daerah tujuan manca negara, terutama Cina berlanjut memasuki era kekuasaan Sriwijaya di abad 8 yang meneruskan peran kawasan barat Nusantara sebagai pusat transit bagi berbagai komoditas Sumba. Kayu cendana tetap menjadi mata dagangan andalan Sumba yang dibarter dengan emas, kain, keramik, gading dan manik-manik (Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur 1977/1978). Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut peranannya sebagai mata dagangan, dimasa-masa itu pula kepulauan Nusa Tenggara Timur dengan Sumba sebagai bagiannya diketahui menghasilkan suatu bentuk kesenian lokal yang menonjol yakni tenun ikat dalam warna-warna merah, kuning, biru, hitam, coklat dan putih dengan motif organis seperti reptil, udang, ayam, kuda dan burung dan motif geometris merupakan kelanjutan atau warisan budaya dari zaman prasejarah. Pada abad 14 hubungan Sumba dengan dunia luar selanjutnya terjalin antara lain dengan kerajaan Majapahit sebagai bagian dari perjalan muhibah laksamana Cheng Ho. Pengaruh kebudayaan Cina di kawasan Nusantara berlanjut tidak hanya dengan ekspansi perdagangan serta emigrasi orang Cina di era dinasti Ming antara abad 14 sampai abad 17 tetapi juga lewat hubungan politik yang disertai kunjungan timbal balik sampai dengan perkawinan antar kaum bangsawan ke dua belah pihak.2 Pada abad 16 disebutkan bahwa mata dagangan utama Sumba selain kayu cendana juga jenis-jenis kayu lainnya seperti kayu kuning dan kayu ebony serta kuda (sandelwood) yang menjadi komoditas utama.
Aneka komoditas tersebut diatas kuda dipertukarkan dengan emas, manik-manik, keramik, gading, kain-kain mewah, parang, pisau dan periuk belanga (Kapita 1976; Sejarah Nusa Tenggara Timur, 1977/1978). Kegiatan membuat tenun ikat masih berlangsung seperti sebelumnya namun diduga bahwa pada masa ini masyarakat penenun Sumba mulai berkenalan dengan motif-motif yang menghias sejumlah barang atau peralatan asing. Beberapa contoh diantaranya adalah motif naga pada keramik Cina yang besar kemungkinannya telah dikenal sejak hubungan dagang di masa-masa sebelumnya3. Volker menyebut tentang pusat distribusi keramik Cina di Timor yang didirikan Belanda pada abad 17 yang mungkin menjadi asal dari benda-benda tersebut di Sumba. Lagi pula walaupun menghadapi praktek monopoli perdagangan keramik Belanda hingga pertengahan abad 19 kapal-kapal Cina masih melangsungkan perdagangannya dengan Sumba (Ten Kate).
Motif Naga di Cina, Bentuk dan Makna
Temuan arkeologis mutakhir memastikan bahwa hubungan naga (lung/ long) dengan kebudayaan Cina telah berlangsung selama 6000 tahun. Bentuk naga muncul dalam berbagai ungkapan seni Cina seperti pada arsitektur, corak kain (busana) dan keramik.
Perupaan naga digambarkan sebagai binatang berkepala unta, cakar elang, tanduk rusa, mata serupa kelinci, telinga banteng, leher ular, perut kerang, sisik ikan dan telapak harimau. Selain itu terdapat sungut atau janggut pada kanan dan kiri mulutnya, sisik yang mematikan di bawah leher dan sebuah mutiara putih dalam genggaman atau mulutnya sebagai sumber tenaga dan lambang kearifan. Benda-benda kekaisaran dijuluki dengan predikat naga seperti singgasana naga (dragon throne), kapal naga (dragon boat) dan tempat tidur naga (dragon bed) dan sebagainya. Sebagai petanda kaisar dan kepemimpinan aristokrat naga melegenda dalam peradaban Cina kuno dan membentuk kebudayaannya hingga dewasa ini.
Naga tampil dalam 9 bentuk yaitu naga bertanduk, naga bersayap, naga angkasa raya (yang mendukung dan melindungi tempat bermukimnya para dewa), naga spiritual yang membawa angin dan hujan untuk manfaat manusia, naga pelindung harta, naga berbentuk spiral yang hidup di air dan naga kuning. dragon. Naga dengan daya terkuat adalh naga bertanduk (lung) yang dianggap dapat membawa hujan. Naga sarat dengan arti simbolis. Naga merupakan binatang mitologis dalam kebudayaan Cina dan dianggap sebagai lambang ras Cina yang memiliki nilai-nilai magis, spiritual, kebaikan, perlambang kemakmuran, kebaikan dan kebijaksanaan. Sebagai simbol kebaikan naga merefleksikan kebesaran dan restu. Naga dihubungkan dengan konsep maskulin, cahaya, dan matahari dalam kosmologi Cina (yang), dikaitkan dengan cuaca, air dan hujan serta penguasa sungai, lautan dan air terjun (en.wikipedia.org). Ia menghadirkan intisari kehidupan dalam bentuk sheng shi, hembusan nafas angkasawi, dan melahirkan kehidupan serta melimpahkan kekuasaannya dalam bentuk empat musim, membawa air hujan, kehangatan matahari, angin dari lautan dan tanah dari bumi. Selain itu sosok naga juga dikatkan dengan citra tenaga, kepiawaian dan keunggulan, kepahlawanan dan keberanian ketekunan, kemuliaan dan kesucian. Naga dianggap penuh enersi, tegas, optimistik, cerdas dan ambisius. Naga adalah representasi daya-daya ibu pertiwi sebagai kekuatan ilahi di dunia.
Naga di Cina dilihat sebagai simbol perlindungan, kewaspadaan dan nasib baik. Ia dianggap sebagai mahluk hidup utama dengan kemampuan untuk hidup di lautan, terbang ke angkasa luas dan berdiam di dunia dalam bentuk pegunungan. Sebagai binatang mitis yang dianggap suci naga dapat mengusir roh jahat, melindungi yang tidak bersalah dan memberi rasa aman pada para pengabdinya. Pada konteks aristokrasi naga terkait dengan segala hal yang menyangkut kekuasaan aristokrasi dalam hal ini kaisar dan kekuasaannya. Kaisar Cina dianggap dialiri oleh darah naga dan menjadi simbol dari kejantanan dan kesuburan. Dalam diri naga kaisar Cina mampu menjadi penengah antara kekuasaan surgawi dan dunia
Naga Cina sebagai Motif Hinggi, Sejauh Apa?
Kepastian tentang kehadiran motif naga pada hinggi masih kabur. Tiadanya peninggalan arkeologis serta pencatatan tarich pada artefak kain Sumba Timur menjadi kendala bagi penetapan setepatnya kemunculan naga pada hinggi. Sebagian besar hinggi bermotif naga yang tersimpan di dalam dan luar negeri berasal dari masa antara akhir abad 19 hingga akhir abad 20. Walaupun demikian hal tersebut belum tentu menandakan bahwa naga baru muncul pada hinggi di masa tersebut mengingat hubungan Nusantara dengan Cina telah berlangsung jauh sebelumnya dan bahwa bentuk naga sudah ada dalam kebudayaan Cina sejak lama berselang. Namun juga perlu dipertimbangkan bahwa bentuk naga bukan monopoli kebudayaan Cina. Indonesia juga memiliki motif naga yang ditengarai ada di daerah-daerah yang tidak atau kurang terpengaruh kebudayaan Cina dan India. Artinya bahwa naga yang muncul pada hinggi memiliki beberapa kemungkinan asal muasalnya. Pertama, dari Cina. Kedua, dari Sumba sendiri. Ketiga dari Cina dengan gaya perupaan Sumba Timur.
Berdasarkan bukti-bukti visual yang berhasil dikumpulkan maka kemungkinan ke tiga tersebut perlu dicermati terutama karena kehadiran motif-motif pengaruh asing pada repertoire ikonografi kain-kain Sumba Timur senantiasa menunjukkan perubahan yang signifikan berdasarkan reinterpretasi dan perbedaan mendasar teknik atau metode pencorakan (lihat juga motif singa dan perisai pengaruh Belanda serta motif patola ratu dan patola bunga yang diduga dipengaruhi motif patola dan motif chhabdi bhat dari India). Sehubungan dengan itu maka motif naga pada hinggi ditinjau dalam perspektif perbandingan cara perupaannya dengan motif naga dari Cina. Hal itu akan mencakup kajian tentang bentuk dan gaya, warna, struktur, sikap dan sifat, susunan dan repetisi serta simbolisme motif.
Bentuk dan Gaya Motif
Bentuk naga pada hinggi tampil dalam gaya stilasi/ekspresionistik yakni suatu gaya perupaan yang mereduksi motif dari bentuk alamiahnya hingga ke wujud umum atau dasarnya namun masih menyisakan jejak-jejak bentuk asli ditambah dengan pembubuhan detail-detail atau penanda yang spesifik seperti tanduk, cakar dan sisik. Oleh sebab itu maka sebagian besar detail yang ada pada naga Cina tidak tampil pada hinggi. Misalnya tidak tampak adanya bola putih pada cengkeraman cakar atau rahangnya sebagaimana lazim pada naga Cina. Pada hinggi bentuk naga cenderung lebih bersifat geometris sehubungan dengan acuan perupaannya pada teknik tenun. Naga di hinggi juga tampil dalam variasi yang berragam, mulai dari yang mirip dengan naga Cina hingga yang terstilasi secara lanjut. Bentuk naga pada benda-benda Cina khususnya keramik dan kain tampil dalam gaya yang relatif lebih realistik/ekspesionistik dengan cara ungkap yang lebih biomorfis yakni luwes, bergelombang dan melingkar. Kendatipun demikian sejumlah ciri khas naga Cina seperti bola putih dan tanduk seringkali juga tidak tampil. Namun bentuk naga yang terbanyak ditampilkan adalah dalam kategori naga bertanduk dan naga kuning (pada kain bersulam).
Warna Motif
Warna motif naga pada hinggi terkait dengan konfigurasi pewarnaan hinggi yang berbasis dua nada (hue) yakni merah (kombu) dan biru (wora). Kedua warna tersebut ditampilkan baik secara terpisah maupun dalam bentuk tercampur. Bentuk tercampur itu dicapai melalui teknik pencelupan berlapis. Ini akan menghasilkan warna ke tiga yang berada dalam rentang coklat tua hingga ungu tua. Selain ketiga warna itu pewarnaan hinggi dilengkapi dengan aksen warna kuning yang diperoleh melalui teknik pemulasan dengan kuas. Sebagai akhir proses pewarnaan seluruh lembar hinggi diselup kedalam cairan berwarna gading kekuningan untuk meningkatkan intensitas nada warna pada corak seluruh lembar. Secara keseluruhan maka warna hinggi tampil dalam dua dominasi oleh nada warna yakni merah (kombu), disebut hinggi kombu, dan biru Motif Naga pada Hinggi Sumba Timur (wora) dikenal dengan sebutan hinggi kaworu. Perbedaannya adalah bahwa pewarnaan hinggi kaworu tidak menggunakan warna merah.
Warna naga pada produk Cina relatif lebih berragam khususnya bila menilik penampilannya pada kain-kain sutera bersulam. Pada produk keramik naga banyak ditampilkan dalam nada warna tunggal biru dan putih, sedangkan pada sulaman kain sutera naga tampil dalam beraneka warna namun terutama kuning emas dan hijau dengan aksen-aksen merah dan biru. Merah juga menempati posisi penting dalam naga Cina baik sebagai warna utama, aksen maupun latar belakang.
Struktur Motif
Struktur motif naga pada hinggi ’adati’ bertolak dari pola tiga bagian (tripartit). Struktur motif berpola dasar tiga bagian tampil dalam kecenderungan wujud segitiga (trianguler) dan tiga rangkai. Wujud trianguler ditunjukkan oleh garis-garis diagonalistik yang mengarah ke satu titik tertentu, biasanya vertikal meruncing.
Pola tiga bagian motif naga di hinggi juga tampil dalam bentuk kerumunan motif tiga rangkai (triadic-cluster). Motif kerumunan tiga rangkai ini terdiri dari satu motif besar dan dua motif yang lebih kecil pengapit atau pendampingnya. Wujud segi tiga dan tiga rangkai tersebut biasanya ditampilkan sebagai motif utama atau motif terbesar dalam konfigurasi pencorakan hinggi. Naga Cina umumnya tampil dalam struktur yang lebih terbuka artinya tidak terikat pada pola tiga bagian melainkan lebih bebas dalam kecenderungan wujud segi empat dan lingkaran.
Posisi dan Sifat Motif : Sikap, Simetri dan Dimensi
Secara posisional motif naga pada hinggi umumnya digambarkan dalam sikap tampak samping atau profil. Sikap tersebut sebagian besar ditampilkan dalam keadaan berdiri sigap (tegak). Tampilan tegak motif tersebut diiringi dengan sifatnya yang simetris dan dua matra. Simetri motif naga ditampilkan dalam simetri simetri reflektif (bifacial symmetry). Simetri reflektif terbentuk melalui penataan sepasang motif dalam posisi berhadapan atau bertolak belakang. Sifat dua matra dari motif tampak pada bentuknya yang datar, tidak menimbulkan dimensi ketiga atau kedalaman bidang yang perspektifis. Walaupun memiliki sifat-sifat geometris dan simetris motif naga di hinggi, umumnya menampilkan kesan gerak khususnya bila dilihat secara menyeluruh.
Naga Cina ditampilkan dalam sikap yang berragam artinya cenderung beroientasi pada pola perupaan realistik. Kategori perupaannya dibedakan menurut arah pandangan kepala naga. Kepala frontal dan menatap ke depan konon diperuntukkan bagi motif naga bagi kaisar, sedangkan kepala yang menyamping atau menoleh bagi tingkat-tingkat aristokrasi di bawahnya. Sikap naga Cina juga tidak secara kaku mengacu pada ketegakkan (vertikal) posisinya, melainkan beragam. Umumnya naga pada keramik tampil dalam keadaan horisontal, itupun tidak mutlak tergantung dari bentuk artefak. Beberapa contoh menunjukkan tampilnya naga dalam posisi vertikal. Sifat motif naga Cina tidak tampil simetris. Ia merupakan suatu kesatuan mandiri tanpa pola simetri tertentu. Demikian pula dengan kematraannya. Dibandingkan dengan naga pada hinggi maka naga Cina cenderung bersifat tiga matra. Unsur-unsur visual pada bentuknya seperti titik, garis, bidang serta ruang mendukung tercapainya kesan dimensi ke tiga dan kedalaman perspektifis. Bentuk naga dari Cina diduga telah mengilhami dan memperkaya pencorakan hinggi sejak lama berselang. Corak naga Cina pada hinggi mengalami perubahan bentuk dan warna berdasarkan selera, kebutuhan dan kreatifitas lokal, sebagai sebuah metamorfosa estetik ke dalam repertoar ikonografi hinggi Sumba Timur. Bentuk naga pada hinggi diungkapkan dalam gaya stilasi, repetisi dan simetri serta tersusun dalam struktur geometri segi tiga. Ungkapan rupa naga pada keramik dan kain sutera Cina.
Busana Adat Wanita
Pakaian pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku yang sewarna dengan sarung.
Di kepala terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada dahi disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di telinga tergantung mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga digunakan pada sekitar leher, menjurai ke bagian dada.
Ada jenis lau yang mempunyai kombinasi dengan desain ikat yang menghias jalur-jalur di bagian atas dari jalur besar lungsi tambahan. Jenis lau itu disebut lau pahudu padua, kain ini biasanya dengan warna kombu.
Pada lau yang tradisional diberi hiasan manik-manik, yang pada masa kini sudah jarang dibuat lagi. Biasanya manik-manik diterapkan pada bagian sisi kain. Untaian manik-manik pada sisi kain itu disebut katipa.
Untuk lau dengan warna dominan kombu atau merah kecoklat-coklatan disebut lau kombu, seperti juga nama yang diberikan untuk hinggi denan warna kombu disebut hinggi kombu.
Warna kain sarung lau antara lain dengan dasar celupan biru tua, merah kecoklatan, ungu, hitam, biru hitam, atau coklat dan merah tua._(cari sambungan)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

katakan yang sejujurnya apa yang engkau pikirkan tentang tulisan ini