Ke Sumba
peserta missworld'13, nusaduabali, dengan pakaian adat ntt//doc.amaboro |
Pulau
Sumba terletak di barat - daya Propinsi NTT, tepatnya berjarak sekitar 96 km di
sebelah selatan P. Flores, 295 km di sebelah barat daya P. Timor dan 1.125 km
di sebelah barat laut Darwin Australia. Menjelajah pulau Sumba terbesit pesan
bahwa Sumba adalah pulaunya para arwah karena di setiap sudut kota dan
kampungnya tersimpan persembahan dan pujian pada leluhur. Nama Sumba atau Humba
berasal dari nama ibu model Rambu Humba, istri kekasih hati Umbu Mandoku, salah
satu peletak landasan suku-suku atas kabisu-kabisu Sumba. Altar megalik dan
batu kuburan keramat yang menghias setiap jantung kampong dan dusun (paraingu)
adalah bukti pasti akan kepercayaan animisme itu.
Sumba juga
dikenal dengan produk kain tenun ikat khususnya tenun ikat yang berasal dari
Sumba timur. Tenun ikat asal daerah ini disebut-sebut sebagai yang paling indah
dengan warnanya yang cerah dengan motif-motif yang menceritakan kehidupan
masyarakat Sumba masa lalu. Sumba barat dikenal karena rumah adatnya yang
menarik dan juga makam tua peninggalan leluhur orang Sumba.
Masyarakat
Sumba cukup mampu mempertahankan kebudayaan aslinya ditengah-tengah arus
pengaruh asing yang telah singgah di kepulauan Nusa Tenggara Timur sejak dahulu
kala. Kepercayaan khas daerah Marapu, setengah leluhur, setengah dewa, masih
amat hidup ditengah-tengah masyarakat Sumba ash. Marapu menjadi falsafah dasar
bagi berbagai ungkapan budaya Sumba mulai dari upacara-upacara adat, rumahrumah
ibadat (umaratu) rumah-rumah adat dan tata cara rancang bangunnya, ragam-ragam
hias ukiran-ukiran dan tekstil sampai dengan pembuatan perangkat busana seperti
kain-kain hinggi dan lau serta perlengkapan perhiasan dan senjata.
Di Sumba
Timur strata sosial antara kaum bangsawan (maramba), pemuka agama (kabisu) dan
rakyat jelata (ata) masih berlaku, walaupun tidak setajam dimasa lalu dan jelas
juga tidak pula tampak lagi secara nyata pada tata rias dan busananya. Dewasa
ini perbedaan pada busana lebih ditunjukkan oleh tingkat kepentingan peristiwa
seperti pada pesta-pesta adat, upacara-upacara perkawinan dan kematian dimana
komponen-komponen busana yang dipakai adalah buatan baru. Sedangkan busana lama
atau usang biasanya dipakai di rumah atau untuk bekerja sehari-hari. Bagian
terpenting dari perangkat pakaian adat Sumba terletak pada penutup badan berupa
lembar-lembar besar kain hinggi untuk pria dan lau untuk wanita. Dari kain-kain
hinggi dan lau tersebut, yang terbuat dalam teknik tenun ikat dan pahikung
serta aplikasi muti dan hada terungkap berbagai perlambangan dalam konteks
sosial, ekonomi serta religi suku sumba.
Di Sumba
seperti juga di Flores kain tenun untuk pakaian adat mereka pada umumnya dibuat
desain dengan cara ikat. Tetapi ada suatu cara membuat kain sarung untuk wanita
yang berbeda denan kain yang ditenun untuk laki-laki. Desain pada kain sarung
wanita khususnya yang menghias jalur besar di bagian bawah sarung yaitu
motif-motif besar yang dibuat dengan lungsi tambahkan.
Motif-motifnya
antara lain berbentuk orang yang menggambarkan leluhur, pohon hayat, fauna
seperti burung, ayam, kuda, dan lain-lainnya. Motif tersebut biasanya hanya
satu warna yaitu warna putih sesuai dengan warna benang katunnya. Desain ini
tampak menonjol karena diberi latar belakang warna lain yang kontras dengan
warna putih hiasannya.
Kain
sarung untuk wanita disebut laud an selendang desain ikat untuk
laki-laki disebut hinggi. Daerah pembuatan tenun yang terkenal yaitu
pantai Utara dan Timur dari Sumba Timur.
Busana
Adat Pria
Sebagaimana
telah disebutkan busana masyarakat Sumba dewasa ini cenderung lebih ditekankan
pada tingkat kepentingan serta suasana lingkungan suatu kejadian daripada
hirarki status sosial. Namun masih ada perbedaan-perbedaan kecil. Misalnya
busana pria bangsawan biasanya terbuat dari kain-kain dan aksesoris yang lebih
halus daripada kepunyaan rakyat jelata, tetapi komponen serta tampak
keseluruhannya sama. Melihat dari hal-hal tersebut maka pembahasan busana pria
sumba ditujukan pada pakaian tradisional yang dikenakan pada peristiwa besar,
upacara, pesta-pesta dan sejenisnya. Karena pada saat-saat seperti itulah ia
tampil dalam keadaan terbaiknya. Busana pria Sumba terdiri atas bagian-bagian
penutup kepala, penutup badan dan sejumlah penunjangnya berupa perhiasan dan
senjata tajam.
Sebagai
penutup badan digunakan dua lembar hinggi yaitu hinggi kombu dan hinggi
kaworu. Hinggi kombu dipakai pada pinggul dan diperkuat letaknya
dengan sebuah ikat pinggang kulit yang lebar. Hinggi kaworu atau
terkadang juga hinggi raukadama digunakan sebagai pelengkap. Di kepala
dililitkan tiara patang, sejenis penutup kepala dengan lilitan dan ikatan
tertentu yang menampilkan jambul. Jambul inilah dapat diletakkan di depan,
samping kiri atau samping kanan sesuai dengan maksud perlambang yang ingin dikemukakan.
Jambul di depan misalnya melambangkan kebijaksanaan dan kemandirian. Hinggi dan
tiara terbuat dari tenunan dalam teknik ikat dan pahikung. Khususnya yang
terbuat dengan teknik pahikung disebut tiara pahudu.
Ragam-ragam
hias yang terdapat pada hinggi dan tiara terutama berkaitan dengan alam
lingkungan mahluk hidup seperti abstraksi manusia (tengkorak), udang, ayam,
ular, naga, buaya, kuda, ikan, penyu, cumi-cumi, rusa, burung, kerbau sampai
dengan corak-corak yang dipengaruhi oleh kebudayaan asing (Cina dan Belanda)
yakni naga, bendera tiga warna, mahkota dan singa. Kesemuanya memiliki arti
serta perlambang yang berangkat dari mitologi, alam pikiran serta kepercayaan
mendalam terhadap marapu. Warna hinggi juga mencerminkan nilai estetis dan
status sosial. Hinggi terbaik adalah hinggi kombu kemudian hinggi kawaru lalu
hinggi raukadana dan terakhir adalah hinggi panda paingu.
Selanjutnya
busana pria Sumba dilengkapi dengan sebilah kabiala yang disisipkan pada
sebelah kiri ikat pinggang. Sedangkan pergelangan tangan kiri dipakai kanatar
dan mutisalak. Secara tradisional busana pria tidak menggunakan alas kaki,
namun dewasa ini perlengkapan tersebut semakin banyak digunakan khususnya
didearah perkotaan. Kabiala adalah lambang kejantanan, muti salak menyatakan
kemampuan ekonomi serta tingkat sosial. Demikian pula halnya
perhiasan-perhiasan lainnya. Secara menyeluruh hiasan dan penunjang busana ini
merupakan simbol kearifan, keperkasaan serta budi baik seseorang.
Corak Hinggi
Pembahasan
tentang sebuah bentuk motif atau warna pada kain tidak terlepas dari kajian
terhadap sistem desain coraknya secara keseluruhan. Demikian pula halnya dengan
bentuk naga pada hinggi. Pengertian corak dalam hal ini mencakup motif
dan nada warna. Corak hinggi memenuhi keseluruhan permukaan lembar dan
terdiri atas motif figuratif, motif skematik dan motif pengaruh asing. Kelompok
figuratif bersumber pada lingkungan dan kebudayaan lokal dan terdiri dari
bentuk-bentuk mahluk hidup (manusia, fauna dan flora) dan alam benda misalnya artefak
berupa perhiasan. Kelompok motif skematik, yakni motif berbentuk dasar
kerawang, terdiri atas motif-motif yang diduga bersumber baik pada gagasan
lokal maupun pengaruh asing dalam bentuk abstrak. Kelompok motif pengaruh asing
terdiri atas motif-motif yang bersumber pada eko-budaya dari luar kawasan Sumba
Timur terutama dari India, Cina, Portugis, dan Belanda. Pengaruh India terlihat
pada motif patola ratu. Pengaruh Portugis tampak di motif kerawang yang mirip
dengan bentuk salib pada lencana para satria (pasukan bersenjata). Pengaruh
Belanda terutama tampil pada bentuk lambang singa dan perisai, mahkota serta
bendera tiga warna. Pengaruh Cina tampak pada kehadiran bentuk naga.
Pewarnaan hinggi
berbasis pada dua nada warna yakni merah (kombu) dan biru (wora).
Kedua nada warna itu secara konfiguratif tampil baik secara individual maupun
bersamaan (tercampur). Penampilannya secara tercampur dilakukan melalui teknik
pencelupan berlapis sehingga menampilkan nada-nada warna ke tiga, yakni dalam
rentang nada warna cokelat tua, merah tua hingga ungu tua.
Corak hinggi
terdiri dari dua kelompok penjaluran corak dalam susunan diametrikal yang
dipisahkan oleh sebuah jalur corak penengah. Motif-motif figuratif baik lokal
maupun asing berada pada kedua kelompok jalur diametrikal tersebut sebagai
motif utama bersamaan dengan sejumlah motif pengisi, sedangkan motif-motif
skematis menempati jalur corak tengah. Motif-motif pengaruh asing menempati
penjaluran corak diametrikal dan secara hirarkis berada pada posisi motif utama.
Menilik hal tersebut maka motif naga pada hinggi merupakan motif utama
dalam konfigurasi pencorakan hinggi. Artinya bahwa secara dimensional
motif tersebut befrukuran terbesar dibandingkan dengan motif-motif lainnya.
Hubungan dengan Cina
Sebagai bagian
dari Nusantara masyarakat Sumba secara tidak langsung terlibat dalam kancah
perdagangan antar pulau maupun antar negara di kawasan Asia Tenggara yang
berkedudukan strategis di jalur lintas pelayaran antara Asia Timur menuju
kawasan India dan Timur Tengah. Hubungan dengan Cina Motif Naga pada Hinggi
Sumba Timur diperkirakan sudah terjadi pada masa antara abad 1 dan abad 7.
Salah satu komoditas terpenting dalam kancah perdagangan antar pulau maupun
antar negara di kawasan Asia Tenggara kala itu adalah produk-produk keramik dan
sutera buatan Cina.
Perdagangan
antar pulau dengan daerah tujuan manca negara, terutama Cina berlanjut memasuki
era kekuasaan Sriwijaya di abad 8 yang meneruskan peran kawasan barat Nusantara
sebagai pusat transit bagi berbagai komoditas Sumba. Kayu cendana tetap menjadi
mata dagangan andalan Sumba yang dibarter dengan emas, kain, keramik,
gading dan manik-manik (Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur 1977/1978). Walaupun
tidak dijelaskan lebih lanjut peranannya sebagai mata dagangan, dimasa-masa itu
pula kepulauan Nusa Tenggara Timur dengan Sumba sebagai bagiannya diketahui
menghasilkan suatu bentuk kesenian lokal yang menonjol yakni tenun ikat dalam
warna-warna merah, kuning, biru, hitam, coklat dan putih dengan motif organis
seperti reptil, udang, ayam, kuda dan burung dan motif geometris merupakan
kelanjutan atau warisan budaya dari zaman prasejarah. Pada abad 14 hubungan
Sumba dengan dunia luar selanjutnya terjalin antara lain dengan kerajaan
Majapahit sebagai bagian dari perjalan muhibah laksamana Cheng Ho. Pengaruh
kebudayaan Cina di kawasan Nusantara berlanjut tidak hanya dengan ekspansi
perdagangan serta emigrasi orang Cina di era dinasti Ming antara abad 14 sampai
abad 17 tetapi juga lewat hubungan politik yang disertai kunjungan timbal balik
sampai dengan perkawinan antar kaum bangsawan ke dua belah pihak.2 Pada abad 16
disebutkan bahwa mata dagangan utama Sumba selain kayu cendana juga jenis-jenis
kayu lainnya seperti kayu kuning dan kayu ebony serta kuda (sandelwood)
yang menjadi komoditas utama.
Aneka
komoditas tersebut diatas kuda dipertukarkan dengan emas, manik-manik, keramik,
gading, kain-kain mewah, parang, pisau dan periuk belanga (Kapita 1976; Sejarah
Nusa Tenggara Timur, 1977/1978). Kegiatan membuat tenun ikat masih berlangsung
seperti sebelumnya namun diduga bahwa pada masa ini masyarakat penenun Sumba
mulai berkenalan dengan motif-motif yang menghias sejumlah barang atau
peralatan asing. Beberapa contoh diantaranya adalah motif naga pada keramik
Cina yang besar kemungkinannya telah dikenal sejak hubungan dagang di masa-masa
sebelumnya3. Volker menyebut tentang pusat distribusi keramik Cina di Timor
yang didirikan Belanda pada abad 17 yang mungkin menjadi asal dari benda-benda
tersebut di Sumba. Lagi pula walaupun menghadapi praktek monopoli perdagangan
keramik Belanda hingga pertengahan abad 19 kapal-kapal Cina masih melangsungkan
perdagangannya dengan Sumba (Ten Kate).
Motif Naga di Cina, Bentuk dan Makna
Temuan
arkeologis mutakhir memastikan bahwa hubungan naga (lung/ long) dengan
kebudayaan Cina telah berlangsung selama 6000 tahun. Bentuk naga muncul dalam
berbagai ungkapan seni Cina seperti pada arsitektur, corak kain (busana) dan
keramik.
Perupaan
naga digambarkan sebagai binatang berkepala unta, cakar elang, tanduk rusa,
mata serupa kelinci, telinga banteng, leher ular, perut kerang, sisik ikan dan
telapak harimau. Selain itu terdapat sungut atau janggut pada kanan dan kiri
mulutnya, sisik yang mematikan di bawah leher dan sebuah mutiara putih dalam
genggaman atau mulutnya sebagai sumber tenaga dan lambang kearifan. Benda-benda
kekaisaran dijuluki dengan predikat naga seperti singgasana naga (dragon
throne), kapal naga (dragon boat) dan tempat tidur naga (dragon
bed) dan sebagainya. Sebagai petanda kaisar dan kepemimpinan aristokrat
naga melegenda dalam peradaban Cina kuno dan membentuk kebudayaannya hingga
dewasa ini.
Naga
tampil dalam 9 bentuk yaitu naga bertanduk, naga bersayap, naga angkasa raya
(yang mendukung dan melindungi tempat bermukimnya para dewa), naga spiritual
yang membawa angin dan hujan untuk manfaat manusia, naga pelindung harta, naga
berbentuk spiral yang hidup di air dan naga kuning. dragon. Naga dengan daya
terkuat adalh naga bertanduk (lung) yang dianggap dapat membawa hujan.
Naga sarat dengan arti simbolis. Naga merupakan binatang mitologis dalam
kebudayaan Cina dan dianggap sebagai lambang ras Cina yang memiliki nilai-nilai
magis, spiritual, kebaikan, perlambang kemakmuran, kebaikan dan kebijaksanaan.
Sebagai simbol kebaikan naga merefleksikan kebesaran dan restu. Naga
dihubungkan dengan konsep maskulin, cahaya, dan matahari dalam kosmologi Cina (yang),
dikaitkan dengan cuaca, air dan hujan serta penguasa sungai, lautan dan air
terjun (en.wikipedia.org). Ia menghadirkan intisari kehidupan dalam bentuk sheng
shi, hembusan nafas angkasawi, dan melahirkan kehidupan serta melimpahkan
kekuasaannya dalam bentuk empat musim, membawa air hujan, kehangatan matahari,
angin dari lautan dan tanah dari bumi. Selain itu sosok naga juga dikatkan dengan
citra tenaga, kepiawaian dan keunggulan, kepahlawanan dan keberanian ketekunan,
kemuliaan dan kesucian. Naga dianggap penuh enersi, tegas, optimistik, cerdas
dan ambisius. Naga adalah representasi daya-daya ibu pertiwi sebagai kekuatan
ilahi di dunia.
Naga di
Cina dilihat sebagai simbol perlindungan, kewaspadaan dan nasib baik. Ia
dianggap sebagai mahluk hidup utama dengan kemampuan untuk hidup di lautan,
terbang ke angkasa luas dan berdiam di dunia dalam bentuk pegunungan. Sebagai
binatang mitis yang dianggap suci naga dapat mengusir roh jahat, melindungi
yang tidak bersalah dan memberi rasa aman pada para pengabdinya. Pada konteks
aristokrasi naga terkait dengan segala hal yang menyangkut kekuasaan
aristokrasi dalam hal ini kaisar dan kekuasaannya. Kaisar Cina dianggap dialiri
oleh darah naga dan menjadi simbol dari kejantanan dan kesuburan. Dalam diri
naga kaisar Cina mampu menjadi penengah antara kekuasaan surgawi dan dunia
Naga Cina sebagai Motif Hinggi,
Sejauh Apa?
Kepastian
tentang kehadiran motif naga pada hinggi masih kabur. Tiadanya
peninggalan arkeologis serta pencatatan tarich pada artefak kain Sumba Timur
menjadi kendala bagi penetapan setepatnya kemunculan naga pada hinggi. Sebagian
besar hinggi bermotif naga yang tersimpan di dalam dan luar negeri
berasal dari masa antara akhir abad 19 hingga akhir abad 20. Walaupun demikian
hal tersebut belum tentu menandakan bahwa naga baru muncul pada hinggi di
masa tersebut mengingat hubungan Nusantara dengan Cina telah berlangsung jauh
sebelumnya dan bahwa bentuk naga sudah ada dalam kebudayaan Cina sejak lama
berselang. Namun juga perlu dipertimbangkan bahwa bentuk naga bukan monopoli
kebudayaan Cina. Indonesia juga memiliki motif naga yang ditengarai ada di
daerah-daerah yang tidak atau kurang terpengaruh kebudayaan Cina dan India.
Artinya bahwa naga yang muncul pada hinggi memiliki beberapa kemungkinan
asal muasalnya. Pertama, dari Cina. Kedua, dari Sumba sendiri. Ketiga dari Cina
dengan gaya perupaan Sumba Timur.
Berdasarkan
bukti-bukti visual yang berhasil dikumpulkan maka kemungkinan ke tiga tersebut
perlu dicermati terutama karena kehadiran motif-motif pengaruh asing pada
repertoire ikonografi kain-kain Sumba Timur senantiasa menunjukkan perubahan
yang signifikan berdasarkan reinterpretasi dan perbedaan mendasar teknik atau
metode pencorakan (lihat juga motif singa dan perisai pengaruh Belanda serta
motif patola ratu dan patola bunga yang diduga dipengaruhi motif patola
dan motif chhabdi bhat dari India). Sehubungan dengan itu maka motif
naga pada hinggi ditinjau dalam perspektif perbandingan cara perupaannya
dengan motif naga dari Cina. Hal itu akan mencakup kajian tentang bentuk dan
gaya, warna, struktur, sikap dan sifat, susunan dan repetisi serta simbolisme
motif.
Bentuk dan Gaya Motif
Bentuk
naga pada hinggi tampil dalam gaya stilasi/ekspresionistik yakni suatu
gaya perupaan yang mereduksi motif dari bentuk alamiahnya hingga ke wujud umum
atau dasarnya namun masih menyisakan jejak-jejak bentuk asli ditambah dengan
pembubuhan detail-detail atau penanda yang spesifik seperti tanduk, cakar dan
sisik. Oleh sebab itu maka sebagian besar detail yang ada pada naga Cina tidak
tampil pada hinggi. Misalnya tidak tampak adanya bola putih pada
cengkeraman cakar atau rahangnya sebagaimana lazim pada naga Cina. Pada hinggi
bentuk naga cenderung lebih bersifat geometris sehubungan dengan acuan
perupaannya pada teknik tenun. Naga di hinggi juga tampil dalam variasi
yang berragam, mulai dari yang mirip dengan naga Cina hingga yang terstilasi
secara lanjut. Bentuk naga pada benda-benda Cina khususnya keramik dan kain
tampil dalam gaya yang relatif lebih realistik/ekspesionistik dengan cara
ungkap yang lebih biomorfis yakni luwes, bergelombang dan melingkar. Kendatipun
demikian sejumlah ciri khas naga Cina seperti bola putih dan tanduk seringkali
juga tidak tampil. Namun bentuk naga yang terbanyak ditampilkan adalah dalam
kategori naga bertanduk dan naga kuning (pada kain bersulam).
Warna Motif
Warna
motif naga pada hinggi terkait dengan konfigurasi pewarnaan hinggi yang
berbasis dua nada (hue) yakni merah (kombu) dan biru (wora).
Kedua warna tersebut ditampilkan baik secara terpisah maupun dalam bentuk
tercampur. Bentuk tercampur itu dicapai melalui teknik pencelupan berlapis. Ini
akan menghasilkan warna ke tiga yang berada dalam rentang coklat tua hingga
ungu tua. Selain ketiga warna itu pewarnaan hinggi dilengkapi dengan
aksen warna kuning yang diperoleh melalui teknik pemulasan dengan kuas. Sebagai
akhir proses pewarnaan seluruh lembar hinggi diselup kedalam cairan
berwarna gading kekuningan untuk meningkatkan intensitas nada warna pada corak
seluruh lembar. Secara keseluruhan maka warna hinggi tampil dalam dua
dominasi oleh nada warna yakni merah (kombu), disebut hinggi kombu,
dan biru Motif Naga pada Hinggi Sumba Timur (wora) dikenal dengan
sebutan hinggi kaworu. Perbedaannya adalah bahwa pewarnaan hinggi
kaworu tidak menggunakan warna merah.
Warna naga
pada produk Cina relatif lebih berragam khususnya bila menilik penampilannya
pada kain-kain sutera bersulam. Pada produk keramik naga banyak ditampilkan
dalam nada warna tunggal biru dan putih, sedangkan pada sulaman kain sutera
naga tampil dalam beraneka warna namun terutama kuning emas dan hijau dengan
aksen-aksen merah dan biru. Merah juga menempati posisi penting dalam naga Cina
baik sebagai warna utama, aksen maupun latar belakang.
Struktur Motif
Struktur
motif naga pada hinggi ’adati’ bertolak dari pola tiga bagian
(tripartit). Struktur motif berpola dasar tiga bagian tampil dalam kecenderungan
wujud segitiga (trianguler) dan tiga rangkai. Wujud trianguler ditunjukkan oleh
garis-garis diagonalistik yang mengarah ke satu titik tertentu, biasanya
vertikal meruncing.
Pola tiga
bagian motif naga di hinggi juga tampil dalam bentuk kerumunan motif
tiga rangkai (triadic-cluster). Motif kerumunan tiga rangkai ini terdiri
dari satu motif besar dan dua motif yang lebih kecil pengapit atau
pendampingnya. Wujud segi tiga dan tiga rangkai tersebut biasanya ditampilkan
sebagai motif utama atau motif terbesar dalam konfigurasi pencorakan hinggi.
Naga Cina umumnya tampil dalam struktur yang lebih terbuka artinya tidak
terikat pada pola tiga bagian melainkan lebih bebas dalam kecenderungan wujud
segi empat dan lingkaran.
Posisi dan Sifat Motif : Sikap,
Simetri dan Dimensi
Secara
posisional motif naga pada hinggi umumnya digambarkan dalam sikap tampak
samping atau profil. Sikap tersebut sebagian besar ditampilkan dalam keadaan
berdiri sigap (tegak). Tampilan tegak motif tersebut diiringi dengan sifatnya
yang simetris dan dua matra. Simetri motif naga ditampilkan dalam simetri
simetri reflektif (bifacial symmetry). Simetri reflektif terbentuk
melalui penataan sepasang motif dalam posisi berhadapan atau bertolak belakang.
Sifat dua matra dari motif tampak pada bentuknya yang datar, tidak menimbulkan
dimensi ketiga atau kedalaman bidang yang perspektifis. Walaupun memiliki
sifat-sifat geometris dan simetris motif naga di hinggi, umumnya
menampilkan kesan gerak khususnya bila dilihat secara menyeluruh.
Naga Cina
ditampilkan dalam sikap yang berragam artinya cenderung beroientasi pada pola
perupaan realistik. Kategori perupaannya dibedakan menurut arah pandangan
kepala naga. Kepala frontal dan menatap ke depan konon diperuntukkan bagi motif
naga bagi kaisar, sedangkan kepala yang menyamping atau menoleh bagi
tingkat-tingkat aristokrasi di bawahnya. Sikap naga Cina juga tidak secara kaku
mengacu pada ketegakkan (vertikal) posisinya, melainkan beragam. Umumnya naga
pada keramik tampil dalam keadaan horisontal, itupun tidak mutlak tergantung
dari bentuk artefak. Beberapa contoh menunjukkan tampilnya naga dalam posisi
vertikal. Sifat motif naga Cina tidak tampil simetris. Ia merupakan suatu
kesatuan mandiri tanpa pola simetri tertentu. Demikian pula dengan kematraannya.
Dibandingkan dengan naga pada hinggi maka naga Cina cenderung bersifat
tiga matra. Unsur-unsur visual pada bentuknya seperti titik, garis, bidang
serta ruang mendukung tercapainya kesan dimensi ke tiga dan kedalaman
perspektifis. Bentuk naga dari Cina diduga telah mengilhami dan memperkaya
pencorakan hinggi sejak lama berselang. Corak naga Cina pada hinggi mengalami
perubahan bentuk dan warna berdasarkan selera, kebutuhan dan kreatifitas lokal,
sebagai sebuah metamorfosa estetik ke dalam repertoar ikonografi hinggi Sumba
Timur. Bentuk naga pada hinggi diungkapkan dalam gaya stilasi, repetisi
dan simetri serta tersusun dalam struktur geometri segi tiga. Ungkapan rupa
naga pada keramik dan kain sutera Cina.
Busana Adat Wanita
Pakaian
pesta dan upacara wanita Sumba Timur selalu melibatkan pilihan beberapa kain
yang diberi nama sesuai dengan teknik pembuatannya seperti lau kaworu, lau
pahudu, lau mutikau dan lau pahudu kiku. Kain-kain tersebut dikenakan sebagai
sarung setinggi dada (lau pahudu kiku) dengan bagian bahu tertutup taba huku
yang sewarna dengan sarung.
Di kepala
terikat tiara berwarna polos yang dilengkapi dengan hiduhai atau hai kara. Pada
dahi disematkan perhiasan logam (emas atau sepuhan) yaitu maraga, sedangkan di
telinga tergantung mamuli perhiasan berupa kalung-kalung keemasan juga
digunakan pada sekitar leher, menjurai ke bagian dada.
Ada jenis
lau yang mempunyai kombinasi dengan desain ikat yang menghias jalur-jalur di
bagian atas dari jalur besar lungsi tambahan. Jenis lau itu disebut lau
pahudu padua, kain ini biasanya dengan warna kombu.
Pada lau
yang tradisional diberi hiasan manik-manik, yang pada masa kini sudah jarang
dibuat lagi. Biasanya manik-manik diterapkan pada bagian sisi kain. Untaian
manik-manik pada sisi kain itu disebut katipa.
Untuk lau
dengan warna dominan kombu atau merah kecoklat-coklatan disebut lau kombu,
seperti juga nama yang diberikan untuk hinggi denan warna kombu disebut hinggi
kombu.
Warna kain
sarung lau antara lain dengan dasar celupan biru tua, merah kecoklatan, ungu,
hitam, biru hitam, atau coklat dan merah tua._(cari sambungan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
katakan yang sejujurnya apa yang engkau pikirkan tentang tulisan ini